
Para pengarang senantiasa memperhatikan tokoh dalam tema-tema yang digarapnya, baik pada novel, cerita pendek, bahkan puisi. Pemilihan tokoh acap berhubungan erat dengan maksud atau interpretasi atas isu yang dibawanya. Satu hal yang menjadi perhatian tentunya adalah anak sebagai lakon. Jika dikaji saksama, tersibak struktur pengetahuan yang menarik untuk dibongkar.
Pasca-momen lebaran, kita mudah ingat dengan Jakarta. Kita mendengar kabar dan pemberitaan arus urbanisasi setelah lebaran. Mereka yang berasal dari kampung halaman memiliki niat hijrah ke Jakarta dengan tujuan mencari pekerjaan sebagai upaya untuk mencari pendapatan dan meningkatkan standard hidup.
Namun, kisah soal Jakarta ini bukanlah sebatas janji manis akan kesuksesan. Di sana, juga memuat persaingan yang melahirkan kelompok yang-lemah. Ini mengingatkan kita akan cerpen Ahmad Tohari Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?. Karya tersebut merupak cerpen terbaik pilihan Kompas pada 2015. Ahmad Tohari, pengarang kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 itu memang dikenal publik atas karya yang mengangkat tema kalangan terpinggirkan, miskin, dan hal-hal banal di dunia urban.
Dalam cerpen itu, ia memosisikan anak sebagai satu lakon yang memainkan peran kunci dalam semesta cerita. Di cerita, Tohari menggunakan “kencing”, selain penggambaran aktivitas sehari-hari, juga sebagai metafora guna menggambarkan kelompok rentan dan terpinggirkan di Jakarta. Anak itu hidup bersama kedua orangtuanya dalam gubuk kardus yang menempel pembatas jalur rel.
Kereta yang mengantarkan setiap penumpang adalah realitas dominan Jakarta, dengan segenap misi dan kepentingan yang diemban. Mereka, sebuah keluarga itu, adalah satu dari realitas lain yang mendapati kesialan dalam derajat penghidupan. Mereka hidup seadanya dan untuk kencing pun harus berpikir panjang. Sebagaimana tergambarkan, beberapa kali bapak sang anak mengingatkan, kalau anaknya kencing tidak boleh dekat dengan punggung ibunya.
Representasi realitas ini muncul dari dialog ayahnya: “Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan.”
Penyebutan nama-nama tempat itu adalah metafora terhadap kesenjangan yang terjadi. Mereka memang kalah dalam kehidupan di Jakarta. Namun, dalam cerita yang dikisahkan Tohari menunjukkan bahwa situasi kemiskinan masih membuat hidup mereka gembira dan merdeka atas kemenangan-kemenangan kecil yang didapat.
Baca juga: Djokolelono, Fiksi Sains, dan Sastra Anak
Dalam konteks pengisahan derita kemiskinan dengan pemosisian sosok anak sebagai lakon, kita pernah mendapati karya terjemahan berupa, masing-masing adalah Saga No Gabai Baachan: Nenek Hebat dari Saga (Pustaka Inspira, 2013) dan Bocah Penjinak Angin: Perjuangan Membangkitkan Arus Listrik dan Harapan di Tengah Padang Afrika (Literati, 2011). Dua novel tersebut mengisahkan dua dunia, masing-masing di Jepang dan Malawi, Afrika.
Novel Saga No Gabai Baachan: Nenek Hebat dari Saga adalah karya fenomenal dari Yoshichi Shimada yang terbit kali pertama pada 2001. Buku itu menjadi upaya merawat memori kolektif peristiwa pengeboman Hiroshima, Jepang, 6 Agustus 1945. Tokoh anak di novel tersebut bernama Akihiro, yang dalam peristiwa kelam itu kehilangan kedua orangtuanya. Ia kemudian diasuh neneknya, Osano, dalam keadaan serba kurang.
Nenek Osano juga menjadi tokoh utama cerita, yang dengan gairah pengetahuan tinggi, memberi pelajaran berharga kepada cucunya demi memaknai hidup. Seperti menerima kemiskinan, dan terus berjuang dalam memenuhi kehidupan mendasar sehari-hari.
Tokoh anak di cerita itu dalam banyak adegan mengisahkan kejutan tema ilmu dan pengetahuan, seperti digelangkannya magnet melalui tali dalam perut yang menghasilkan besi untuk dijual serta sugesti sepatu lusuh–yang tak menutup kemungkinan dalam pencapaian prestasi dalam kompetisi lari.
Baca juga: Senarai Kisah Pelancong Buku
Sementara itu, novel Bocah Penjinak Angin adalah karya dari dua penulis, William Kamkwamba dan Bryan Mealer, terbit kali pertama pada tahun 2009. Sejak awal novel, para pembaca mudah dibuat terkejut & terperanjat saat menyimak rangkaian cerita yang tersaji di sana.
Satu kutipan penting untuk sama-sama dicatat, “Sebelum aku menemukan keajaiban ilmu dan pengetahuan, ilmu sihir menguasai duniaku.” Kutipan membabarkan realitas dan situasi kultural, yang kemudian menjadi titik pemberangkatan perwujudan masyarakat mengenal dan mendapatkan arus listrik.
Tokoh anak dalam kesusastraan akhirnya merupa pilihan para pengarang yang tak bisa dipahami sebatas penokohan. Namun, menjadi upaya pendekatan pada penggambaran realitas masalah maupun konflik yang diangkat, khususnya sudut pandang anak–yang seringkali terabaikan oleh dunia dewasa. Di sini, tak dapat dipungkiri, bahwa anak sebagai lakon dapat jernih & spontan dalam mengutarakan hal, polos tanpa bayang-bayang intervensi, serta memiliki tutur kata yang jujur dan apa adanya.
Dalam keterlibatan karya sastra, penokohan anak pun membuka sekat sasaran pembaca dalam karya. Artinya, tokoh anak dapat memosisikan-menggaungkan isu orang dewasa. Ini tentu menegaskan, betapa karya sastra dengan tokoh dewasa kadang kurang jujur atau bias dalam menggambarkan sebuah realitas. Tokoh anak juga menegaskan keterbukaan eksploratif dalam tema-tema nyata yang melompati pagar konteks. Mereka dengan bahasa, konstruksi berpikir, dan watak dalam teks menyuguhkan hamparan kisah yang sayang dilewatkan para pembaca.