Angleluri Kabudayan Jawi
Ilustrasi diambil dari istockphoto.com

Beberapa waktu silam, gema suara gamelan memecahkan lamunan, suara nang, ning, nung, jur, dan gung terdengar dari bilik beton sebelah kanan tempat saya tinggal. Pasalnya, lantunan suara tabuhan yang merdu tersebut sudah jarang sekali dimainkan. Seketika langkah kaki tergerak untuk mendatangi asal suara itu secara langsung.

Sekonyong-konyong saya teringat dengan suasana masa kecil, di mana suara gamelan masih sering menggema. Berbagai pertunjukkan kesenian masih kerap digelar dan pelaku seni masih energik dalam memainkan beragaman peran. Kabudayan Jawi masih menjadi napas sehari-hari di kala itu. 

Belakangan ini, suara gamelan terasa menyayat hati secara pribadi. Saya teringat akan kesibukan sanggar tersebut beberapa tahun lalu. Sedih rasanya mengingat keceriaan saat berlatih menabuh gending dahulu, yang kini hampir hilang akibat pergeseran zaman. Eloknya alunan nada-nada dari berbagai gending (komposisi musik perkusi), berpadu dengan tembang-tembang Jawa yang biasanya dinyanyikan oleh para perempuan, begitu membekas. Kelembutan suara nyanyian tembang saat itu masih saja terngiang-ngiang dalam ingatan.

Alih-alih bisa berkembang, Lamat-lamat suasana itu mati suri. Derasnya arus pergeseran budaya justru membuat seni gamelan terancam eksistensinya di kehidupan masyarakat. Dampaknya kini jarang sekali kita bisa menemui pagelaran gamelan, jika bukan ketika acara-acara besar yang diadakan oleh keraton atau oleh (sponsor) pemerintah. 

Alhasil, mayoritas generasi muda acuh dengan keberlanjutan seni gamelan ini. Tak banyak anak muda yang mengenal dan menggandrungi kesenian gamelan. Semakin menurunnya keminatan pada generasi muda inilah yang tampaknya menjadi urgensi bagi pelestarian budaya Jawa.

Senjakala Budaya Jawa

Masyarakat penggiat sanggar kesenian gamelan kian menua seiring berjalannya waktu. Mereka merasa tak sanggup melihat kondisi kebudayaan yang dulunya dijaga dengan sedemikian luhur dan antusias, kini rupanya malah nyaris “sayup-sayup”–untuk tidak menyebutnya menghilang begitu saja. Tergantikan oleh musik-musik ala Barat yang menggeser nilai kebudayaan jawa. Anehnya, semua itu justru banyak digemari oleh masyarakat saat ini. Para tetua selalu mengatakan hal yang sarat akan makna, “wong jowo, ojo ngasi ilang jawane”. 

Melihat fenomena saat ini, banyak generasi muda yang tidak mengenal budayanya sendiri. Bahkan, mereka justru menjauhkan diri dari budaya yang seharusnya dilestarikan dengan alasan yang begitu beraneka ragam, seperti mengikuti perkembangan zaman. Tren lagu Barat dan Jawa pop yang semakin populer saat ini lebih berfokus pada tema percintaan tanpa menyisipkan unsur kebudayaan di dalamnya.

Baca juga: Wejangan Ki Ageng Suryomentaram: Hidup Bahagia?

Hilangnya pembelajaran tembang tradisional di sekolah-sekolah juga membuat siswa semakin tidak mengenal kebudayaannya. Yang diajarkan justru lagu-lagu populer masa kini, sementara lagu-lagu Jawa seperti Lir Ilir, Gugur Gunung, dan Gundul-Gundul Pacul dianggap sudah tidak relevan dengan zaman sekarang dan hanya tinggal di benak kaum tua.

Beberapa waktu silam, publik sempat dihebohkan dengan isu klaim kebudayaan reog ponorogo yang dilakukan oleh negara tetangga: Malaysia. Di saat masyarakat Indonesia mulai acuh dengan keberadaan kebudayaan ini, negara lain justru menyadari keunikan dari kebudayaan reog. Mirisnya, kebudayaan reog semakin dikenal oleh masyarakat luar, tapi terasing dari negaranya sendiri. Oleh karena itu, dikhawatirkan jika kesenian gamelan akan mengalami hal serupa, maka kita perlu untuk mengkritisi perubahan-pergeseran ini.

Senjakala kebudayaan tersebut semakin terasa adanya. Berbagai problematika mengenai pergeseran zaman, menurunnya minat mempelajari kebudayaan menjadi tantangan besar bagi generasi muda dalam merawat kebudayaan yang ada. Seharusnya sebagai generasi muda, kita perlu menguri-uri kebudayaan yang sudah ada sejak lama. Sungguh sangat disayangkan apabila kehilangan kekayaan kebudayaan warisan nenek moyang kita.

Pendidikan Jiwa dan Tata Krama 

Melihat kualitas moral generasi saat ini yang didominasi oleh kasus kekerasan, penganiayaan dalam lingkup pertemanan terasa miris di hati. Perkataan yang terlontar pun semakin tidak jelas dan penggunaan bahasa kasar justru dinormalisasi.

Konteks berbahasa dengan tutur halus yang dimiliki oleh Solo mulai terancam kian berjalannya waktu. Dampaknya semakin banyak generasi muda, khususnya Jawa, menjadi kaku dalam berbahasa jawa. Demikian juga menurunnya tingkat kesopanan dalam bertutur kata.

Pendidikan moral sebaiknya menjadi prioritas dalam dunia pendidikan, untuk membentuk karakter kuat pada peserta didik. Upaya menjaga stabilitas moral dapat dilakukan melalui pengajaran budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur. Warisan budaya dari nenek moyang sesungguhnya mampu menjadi bekal dalam menghadapi tantangan di era kontemporer.

Baca juga: Membentuk Karakter Anak Melalui Pendidikan Inklusif 

Dalam konsep pancadharma milik Ki Hajar Dewantara, pada asas kebudayaan, menyandarkan bahwa kodrat manusia adalah makhluk yang berbudaya. Membentuk jiwa manusia yang berbudi pekerti luhur melalui khazanah kebudayaan, spesifiknya kabudayan Jawi.

Melalui seni gamelan ini akan mengasah konsistensi dan kedisiplinan dalam belajar pengulangan saat berlatih. Menumbuhkan tanggung jawab dalam peranan masing-masing dan menguatkan peran kolaboratif. Sebab, penciptaan lantunan suara yang selaras tersebut dapat tercipta apabila komposisi tabuhan setiap gendingnya sesuai aturan. 

Ki Narto Sabdo, sosok yang menjadi anutan model dalam tradisi kabudayan Jawi, mencipta gending-gending Jawa dan lakon wayang kulit. Karya-karya tersebut banyak mengandung nilai-nilai luhur yang penting dalam pengembangan jiwa dan tata krama. 

Melalui gamelan, niscaya mampu meingkatkan rasa welas asih kepada sesama manusia. Keselarasan suara yang dihasilkan mampu menciptakan kelembutan hati pada siapapun yang mendengarkannya. Harmoni dari padu padan suara gamelan pun meningkatkan harmoni baik pada diri dan lingkungan sekitar. 

Bagikan
Mahasiswi Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta. Bisa disapa melalui instagram @_kharismas

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here