Dialog Kitab Suci

Pada 1960-an, Indonesia melimpah buku agama (Islam). Buku–buku itu pernah terbit dan tercetak di berbagai wilayah yang didominasi umat muslim. Arus pergerakan perbukuan dahulu mulai muncul dari kota-kota yang kini bisa disebut kota metropolitan seperti Medan, Minangkabau, Jakarta, Bandung, Jogja, Solo, Malang, dan Surabaya.

Langkah ini tampaknya mengawali bentuk modernitas dakwah serta menjadi bukti bahwa islamisasi  melalui jalur literatur keaksaraan berkembang begitu pesat. Pasca kolonialisme, memang terjadi perubahan dakwah Islam yang mulai mengalami peralihan dalam menentukan pedoman pemahaman dan landasan pelajaran umat, dari lisan merambah keaksaraan. Kita masih bisa menemukan buku-buku kuno yang pernah terbit tahun  1960-an di Indonesia.

Kita mungkin melupakan sosok Hasbullah Bakry, cendikiawan muslim yang sregep menulis buku-buku keislaman dan hukum Islam. Kita sulit melacak pengalaman hidupnya. Bahkan Google pun tak sanggup melacak siapa itu Hasbullah Bakry lho! Saya pun masih sulit melacak biografinya di buku-buku di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Sepengetahuan saya, Bakry merupakan tokoh Islam bergelar sarjana hukum yang banyak menulis tema-tema akidah, akhlak, teologi, dan hukum. Salah satunya buku yang ia pernah tulis berjudul Al-Qur’an sebagai Korektor Terhadap Taurat dan Injil (1966). Buku ini pernah diterbitkan oleh penerbit JAPI di kota Surabaya. Di halaman pertama buku tersebut memuat penjelasan “sari Tjeramah NUZULUL QUR”AN di Gubernuran Palembang pada 31 Djanuari 1964 menjambut 17 Ramadhan dihadapan anggota Pangadjian Tjendekiawan Palembang.”

Kita menduga bahwa naskah ini memang pernah disampaikan Bakry sebagai bahan ceramah bersama para politikus di kota Palembang. Sebab penjelasan itu melekat di awal pembukaan buku. Bakry menulis tema abot tapi selesai dengan 16 halaman. Buku tipis memuat penafsiran Bakry secara serius dan normatif tentang dialog kitab suci.

Baca juga: Akulturasi Islam-Jawa: Sedekah Bumi, Seni, dan Kirab Budaya

Bakry mengungkapkan bahwa turunnya wahyu Al-Qur’an sebagai petunjuk umat manusia sekaligus pembenar dari kitab suci sebelumnya; Taurat dan Injil. Ada 4 (empat) persoalan pokok yang Bakry sampaikan mengenai Al-Qur’an. Antara lain; Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan, Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan manusia, Al-Qur’an sebagai korektor terhadap kitab-kitab suci sebelumnya yang telah dinodai oleh tangan manusia, dan Al-Qur’an sebagai petunjuk.    

Problem teologis yang ingin Bakry sampaikan adalah pandangan orang-orang Barat (kaum ortodoks) yang menganggap bahwa Al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad. Bakry menjawab problematis ini dengan mendialogkan ayat-ayat kitab suci agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) yang terdiri dari surat Al-Baqarah: 85 dan Al-Masih; 14. Hasil dialog itu memperjelas bahwa kandungan Al-Qur’an mampu memuat berbagai kisah sejarah agama yang benar dan komprehensif.

Jawaban Bakry atas tuduhan orang-orang Barat didasari logika yang kuat dan sekaligus memperjelas bahwa Nabi Muhammad merupakan seorang pedagang yang tidak pernah menempuh bangku pendidikan. Kita bisa menyimak argumentasi Bakry, “Padahal semua orang mengetahui Nabi Muhammad tidak pernah sekolah sebelumnja atau merantau mentjari pengetahuan untuk itu. Ajat2 Al-Qur’an itu merupakan keajaiban bagi ulama2 Barat djika hal itu sungguh2 hasil pemikiran Nabi Muhammad sendiri.”

Problem teologis yang ingin Bakry sampaikan adalah pandangan orang-orang Barat (kaum ortodoks) yang menganggap bahwa Al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad. Bakry menjawab problematis ini dengan mendialogkan ayat-ayat kitab suci agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) yang terdiri dari surat Al-Baqarah: 85 dan Al-Masih; 14

Tuduhan itu berhasil Bakry tangkis dengan sumber-sumber primer (kitab suci) dan sekunder. Pada mulanya orang-orang Barat cenderung meragukan kandungan Al-Qur’an sebagai kitab penuntun kebahagiaan kehidupan, namun Bakry melihat ada salah satu pemikir Barat yang kagum terhadap kandungan Al-Qur’an.

Tokoh pemikir itu bernama Prof. H.A.R. Gibb. Ia mengatakan “Tak seorang pun dalam lima belas ratus tahun ini telah memainkan alat bernada njaring jang demikian mampu dan berani dan demikian luas akibat getaran djiwa jang diakibatkannja seperti apa jang telas dilakukan Mohammad itu.”

H.A.R. Gibb menulis dan menilai Islam begitu objektif atas tafsir Al-Qur’an yang—barangkali ia sudah pelajari secara mendalam. Sebab H.A.R. Gibb mengungkapkan kekaguman itu memalui telaah literatur keislaman dan berbagai hasil riset, bukan sekadar menerima kabar lisan (omongan) dari seseorang atau memperoleh dari media sosial! 

Baca juga: Ruwah dan Ritus Sebelum Ramadhan

Pendapat H.A.R. Gibb yang dikutip Bakry tidak sekedar menangkis kaum ortodoks tetapi juga ingin menyampaikan pesan kepada umat manusia. Bahwa perbedaan pandangan atau pendapat yang terjadi dalam situasi problem teologis tidak lantas diselesaikan melalui jalur kekerasan atau peperangan. Bakry memilih jalur dialog (toleransi) dengan menulis sesuai telaah data yang bersumber dari kitab suci yang diturunkan Tuhan.

Penjelasan demi penjelasan dari pesan Al-Qur’an diturunkan di dunia untuk memperbaiki moral dan akhlak. Sebab pada umumnya manusia sering bersikap serakah dan tamak terhadap harta dan tahta. Sehingga kemudian perlu adanya dialog teologis yang dekonstrukstif untuk memahami sejarah agama-agama di masa silam.

Saya merasa kagum dengan keberanian Bakry dalam menulis buku ini. Ia tidak sekadar menentukan tema abot, tapi juga bertanggungjawab memahamkan pembaca bahwa Al-Qur’an merupakan korektor terhadap kitab Taurat dan Injil. Sejak Bible dipecah menjadi dua bagian yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ada keterlibatan manusia dalam merevisi kitab suci tersebut. Bakry menilai ada beberapa ayat-ayat Al-Qur’an sebagai koreksi dari Perjanjian Baru.

Seperti penjelasan dalam kitab kejadian (Genesis) pasal 19 ayat 33-36, dikoreksi Al-Quran surah Al-Ankabut ayat 20-30, isi kitab Keluaran pasal 37 ayat 2-4, dikoreksi Al-Qur’an surah Thoha ayat 90-94, Bible kitab Radja-radja 1 pasal 11 ayat 4-5, dikoreksi surah Al-Baqarah ayat 102 dan lain-lain.

Apa yang dikoreksi pada dasarnya adalah penjelasan sejarah perkembangan agama di dunia. Urgensi dalam buku ini menperjelas betapa pentingnya mempelajari agama secara terbuka. Sehingga dialog teologis tidak sekadar memberi justifikasi salah, kafir, sesat, tetapi harus beretika untuk membuka ruang teologis yang bermartabat dan berwibawa.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here