
Makam Sunan Pandanaran berada di desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Terletak di puncak bukit Jabalkat, tempat ini menjadi salah satu destinasi wisata religi yang populer di tlatah Klaten. Suasana di sekitar makam terasa sejuk karena lokasinya berada di ketinggian sekitar 860 mdpl.
Dikelilingi pepohonan dan pekarangan sawah, membuat suasana di makam Sunan Pandanaran begitu sejuk dan membuat hati tenang. Tak heran banyak para peziarah di makam Sunan Pandanaran. Sebenarnya tempat ini bukan hanya destinasi wisata religi, tetapi banyak orang yang percaya bahwa melakukan kegiatan bertapa atau yang lebih dikenal sebagai mengasingkan diri dari keramaian untuk mencari kedamaian batin dan mendekatkan diri dengan sang maha pencipta, dan dapat melancarkan usaha serta mencari keberkahan.
Pada 11 Oktober 2025, mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta melakukan outing class dan berziarah ke makam Sunan Pandanaran. Kami sangat antusias sekali menuju ke sana, sebuah perjalanan yang melibas jarak 34 km dengan waktu tempuh kurang lebih 50 menit dari lokasi awal kami, yakni di UIN Raden Mas Said Surakarta. Di sepanjang jalan kami melihat hamparan sawah dan bukit-bukit hijau, membuat kami terkesima.
Sesampainya di lokasi, kami berkumpul dulu di pendopo dan menunggu bapak dosen. Pak dosen kemudian menjelaskan tentang Sunan Pandanaran dan menyinggung sedikit tentang sejarah Sunan Pandanaran ini dalam buku Wali Brandal Tanah Jawa karya George Quin. Setelah itu kami bersama pak dosen menuju makam dengan menaiki tangga yang berjumlah 152 anak tangga. Sewaktu naik, ada yang mengatakan bahwa barang siapa yang dapat menghitung total jumlah anak tangga menuju makam dengan benar, maka hajatnya akan dikabulkan.
Saat kami memasuki kawasan makam Bayat, suasana religius langsung terasa sejak melewati gapura keempat menuju gapura kelima, yang dikenal dengan sebutan Pamuncar. Setelah melewati gerbang itu, terbentang kawasan makam tua yang menjadi saksi penyebaran Islam di wilayah selatan Jawa terutama di daerah Ngaksintoro – kawasan yang dahulu dikenal sebagai bagian dari wilayah budaya Mataram Islam.

Gapura-gapura megah di kompleks makam Bayat tersebut dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, sekitar tahun 1631-1632. Gapura tersebut dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada guru spiritual sang raya, yakni Sunan Bayat. Gapura ini sebenarnya bukan sekadar bangunan fisik, tetapi simbol penghargaan seorang raja kepada ulama yang menjadi tanda hubungan erat antara kekuasaan duniawi dan kekuatan rohani.
Corak Batu Nisan
Dari corak batu nisan makam dapat dilihat bahwa corak batu nisan yang satu dengan yang lain beda. Hal ini dapat membedakan makam mana yang berasal dari kalangan ulama maupun yang tidak. Salah satu ciri khas makam ulama di sini adalah adanya tanda bulan pada batu nisannya. Simbol rembulan itu bukan sekadar hiasan, tetapi penanda bahwa orang yang dimakamkan adalah seorang ulama atau Kyai.
Karakteristik ini menjadi lambang asimilasi ajaran Islam dan budaya lokal pada abad ke-15 hingga ke-17, masa ketika Islam mulai berkembang pesat di wilayah selatan seperti Klaten, Salatiga, Boyolali, Surakarta, dan sekitarnya.
Tak jauh dari situ, terdapat makam dengan corak kepala ikan berjumlah tiga yang menjadi sebuah simbol khas ajaran Islam bercorak sufistik, khususnya tarekat Satoriyah atau Syattariyah. Corak ini menggambarkan harmoni antara ajaran tasawuf dan kehidupan masyarakat Jawa kala itu, di mana spiritualitas tidak hanya dipraktikkan dalam ibadah, tetapi juga diwujudkan dalam simbol dan seni ukir nisan.
Baca juga: Kiai Sholeh Darat: Ulama Intelektual Penyebar Islam di Jawa
Semakin mendaki ke atas, deretan makam tampak tertata mengikuti tingkat tertentu. Semakin tinggi letaknya, maka semakin dekat hubungan keturunan dengan para wali, khususnya Sunan Pandanaran. Di antara tokoh-tokoh yang disemayamkan di sana, ada tempat peristirahatan yang dikenal dengan nama Kyai Minang Kabul, seorang ulama yang diyakini memiliki kedekatan dengan Wali Abdal, yaitu generasi kedua setelah para Walisongo.
Menariknya, terdapat makam panjang yang menjadi tempat tirakat bagi pasangan suami istri yang berdoa agar diberi keturunan. Tradisi ini masih dipercaya hingga kini, yang menjadi bagian dari warisan spiritual yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta melalui wasilah para ulama terdahulu. Corak dan bentuk nisan pun beragam. Nisan para raja biasanya memiliki bentuk yang mirip dengan milik para ulama, namun dengan corak atau ukiran berbeda sebagai penentu derajat dan peran di masa lampau.
Masjid Sunan Pandanaran
Setelah itu kami menuju ke tempat kedua, yakni masjid Sunan Pandanaran. Dalam kisah tutur masyarakat Bayat, tersimpan pula unsur metafisika dan karomah yang dipercaya sebagai tanda kebesaran para wali. Dikisahkan bahwa suara adzan dari Masjid Bayat dahulu dapat terdengar hingga ke Demak, bahkan sampai ke telinga Raden Patah, Sultan Demak pertama. Peristiwa ini dipandang sebagai karomah para wali di Ngeksigondo, pertanda bahwa cahaya Islam dari Bayat menjangkau jauh melampaui batas geografis.
Seiring berjalannya waktu, ajaran Islam yang diajarkan para wali tak berhenti pada masa Walisongo dan terus berkembang. Setelah mereka wafat, muncul generasi penerus yang disebut Wali Nukbah atau disebut dengan wali setelah Walisongo.
Tak jauh dari kompleks makam, terdapat pula Jabalkat menjadi tempat yang dahulu digunakan untuk belajar agama dan ilmu bela diri. Di sinilah para santri dan pengikut Sunan Pandanaran ditempa, bukan hanya dalam ilmu syariat tetapi juga dalam kedisiplinan jasmani-rohani, agar mampu menjadi penjaga nilai-nilai Islam di masa penuh tantangan.
Baca juga: Ki Ageng Pengging Sepuh: Membaca Simbol Budaya di Pasarean
Menuju ke tempat ketiga, kami masuk ke dalam kawasan makam terakhir, yakni makam Sunan Pandanaran. Kami melakukan tahlil dan doa bersama. Setelah itu kami berkumpul kembali ke pendopo dan foto bersama di depan tulisan makam Sunan Pandanaran. Pak dosen juga menjelaskan lagi perihal makam Sunan Pandanaran yang sudah kami kunjungan sebelumnya.
Selama berziarah ke makam Bayat, saya merasa seluruh badan terasa dingin dan berat saat berada di pemakaman para ulama. Hawa sejuk dan terasa tenang membuat saya sangat ingin menenangkan diri ataupun sekadar melamun. Sesampainya di puncak, embusan angin siang hari membuat suasana pemakaman sangat sejuk dan membuat pikiran serta hati tenang.
Biografi Singkat Sunan Bayat
Sunan Pandanaran – yang juga dikenal sebagai Sunan Bayat (Sunan Pandanaran II) atau Ki Ageng Pandanaran – adalah mantan adipati Semarang pertama. Sunan Bayat merupakan ulama penyebar agama Islam khususnya di daerah Semarang, Salatiga, Boyolali, hingga Klaten. Beliau juga murid dari Sunan Kalijaga.
Sunan Bayat cukup berjasa menyebarkan ajaran Islam dengan akulturasi budaya. Pendekatan budaya yang dilakukan Sunan Pandanaran, dapat dilihat dari kompleks sekitar pemakamannya, yang mirip seperti candi. Hal ini niscaya mencandrakan bahwa ada dakwah dengan memadukan budaya lokal. Lalu ada falsafah patembayatan yang merupakan cikal bakal nama “Bayat” yang berarti musyawarah atau gotong royong.
Sunan Bayat sendiri hidup pada masa kesultanan Demak (abad ke 15). Beliau juga dikenal sebagai wali pengganti Syekh Siti Jenar yang menurut kisah dihukum oleh Dewan Walisongo. Secara susur galur, Sunan Bayat adalah putra dari Syekh Maulana Hamzah. Beliau juga mempunyai saudara laki-laki yang bernama Sayyid Kalkum Wot Galeh yang menjadi Bupati Ponorogo ke II.
Pada akhirnya, perjalanan ziarah ini bukan sekadar outing class saja, melainkan pengalaman spiritual yang berkesan bagi saya. Setiap melangkah menaiki anak tangga menuju puncak makam, saya dapat merasakan lelah yang luar biasa.
Hikmah yang dapat saya rasakan dari menaiki anak tangga ini adalah simbol perjalanan hidup manusia yang penuh dengan perjuangan, merasakan lelah, namun tetap berjuang sampai akhir. Hawa sejuk di puncak bukit dan suasana religius membuat hati saya terasa tenang, seolah saya diingatkan untuk selalu rendah hati.
Saya lantas pulang dengan hati tenang, pikiran lebih jernih, dan semangat baru untuk meneladani sikap para wali dalam kehidupan sehari-hari; menyebar manfaat dan berusaha menjadi insan yang baik bagi sesama.
Daftar Referensi
https://www.visitklaten.com/listings/makam-sunan-pandanaran-bayat-klaten/






