
Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mempunyai lembaga pendidikan Islam terbanyak, dan juga menjadi negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Potensi ini tentu mejadi catatan penting dalam dinamika pendidikan dan perkembangan Islam di Nusantara.
Kehadiran pesantren mejadi wadah tersendiri, dalam upaya memberikan kontribusi besar dalam transmisi nilai-nilai keislaman. Selain itu, sejauh ini kehadiran pesantren juga mejadi tiang utama lahirnya keharmonisan dan kearifan di tengah beragamnya suku, agama, dan budaya.
Pesantren mempunyai misi besar dalam merawat keislaman dan kedaulatan bangsa ini. Beragam ajaran pesantren bukan saja menanamkan nilai-nilai akidah yang berkaitan dengan ketuhanan. Lebih dari itu, pesantren juga berpotensi membentuk masyarakat yang multikultur serta menjadi lembaga pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai karakter, nasionalisme dan ramah anak.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa pesantren dapat melahirkan generasi yang cinta bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan beragam suku, agama, budaya dan bahasa.
Menurut catatan Nurkholis Majid dalam bukunya Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: 1997: 3), pesantren yang hidup di Indonesia tidak hanya identik nilai-nilai keislamanya, melainkan juga mengandung makna keaslian dari Indonesia itu sendiri (indigenous).
Hal ini memberi gambaran kepada kita, bahwa kiprah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam telah menuai banyak jasa dan diakui baik skala nasional maupun internasional. Banyak tokoh, ilmuwan, cendikiawan, dan pujangga yang lahir dari rahim pesantren turut berkontribusi dalam membangun kemajuan dan kedaulatan bangsa.
Lokalitas Pesantren
Sebagai salah satu misi dari adanya Bhinneka Tunggal Ika, pesantren juga berkewajiban memelihara nilai-nilai kearifan dan lokalitas masyarakat. Pesantren menjadi penunjang utama menghidupkan tradisi masyarakat dengan nilai-nilai Islam.
Meski demikian, hadirnya nilai-nilai Islam dalam tradisi masyarakat tidaklah menggeser otentisitas dari kebudayaan setempat. Akan tetapi sebaliknya, Islam mampu menambah nilai-nilai tradisi masyarakat dengan makna yang lebih luas. Hal ini dikarenakan, Islam sendiri menjadi agama yang ramah terhadap kultur masyarakat baik dari sisi sosial, budaya, maupun politis.
Baca juga: Memutus Mata Rantai Kekerasan Seksual di Pesantren
Keberagamaan yang dimiliki oleh bangsa ini, menjadi poin utama untuk pesantren menanamkan nilai-nilai toleransi, empati, dan moderasi. Pesantren sendiri meyadari, bahwa hadirnya Islam sebagai agama tidaklah lahir dari sebuah tindak kekerasan dan keterpaksaan.
Melainkan, Islam hadir dengan kelembutan dan pendekatan kultur budaya, sehingga Islam dapat hidup dan diterima oleh kalangan masyarakat Indonesia (Murtado, 2021).
Harmoni pesantren yang berangkat dari kearifan ini haruslah terus dipupuk-ditanam lebih kuat kepada kita sebagai generasi bangsa. Misi inilah yang harus kita pahami, bahwa pesantren bukan saja sebagai lembaga yang menanamkan nilai-nilai religius, tapi juga sebagai lembaga yang senantiasa hadir dalam merawat dan menjaga nilai-nilai lokal–yang selama ini hidup dan dihidupi oleh masyarakat.
Lain sisi, derasnya terjangan teknologi dan deru modernitas, juga menjadi tantangan tersendiri bagi pesantren dalam transmisi keislaman dan kebudayaan.
Nasionalisme Pesantren
Memperhatikan kearifan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional, tampaknya juga memiliki gaya dan dinamika intelektual yang signifikan terutama dalam membangun diseminasi pengetahuan di Nusantara. Harmoni antara pesantren dengan marwah intelektualitas ini dapat dilihat dengan hadirnya beragam karya yang mempengaruhi arus pengetahuan dan keilmuan baik di ranah masyarakat maupun kalangan akademis.
Lahirnya beragam karya yang berpengaruh ini, menjadi bukti bahwa setiap tokoh, pemikiran dan karya yang lahir dari pesantren memiliki otoritas tinggi di panggung keislaman dan pengetahuan.
Baca juga: Pesantren: Melanggengkan Tradisi, Menjaga Silaturahmi
Sampai saat ini, pesantren masih menjadi primadona sebagai lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh dalam menjaga moralitas dan kearifan bumi Nusantara. Dengan berbagai polemik di tengah gelombang modernitas yang serba dinamis dan masuk-merasuk, pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan yang baik dalam membina dan mendidik generasi mendatang yang berkualitas.
pesantren bukan saja sebagai lembaga yang menanamkan nilai-nilai religius, tapi juga sebagai lembaga yang senantiasa hadir dalam merawat dan menjaga nilai-nilai lokal–yang selama ini hidup dan dihidupi oleh masyarakat
Bukan tidak mungkin, bila konsistensi dalam mengasuh anak-anak muda dilkukan terus-menerus, banyak tokoh agama, politisi, akademisi, dan pemimpin lembaga pendidikan yang berasal dari pesantren (Aziz, 2018).
Keterlibatan ini mejadi dasar pengalaman baru, bahwa pendidikan pesantren bukan melulu bagaimana menghidupkan Islam di bumi Nusantara, melainkan juga megajarkan bagaimana merawat dan menjaga keutuhan bangsa sebagai bagian dari ajaran agama Islam.
Banyak para tokoh dari pesantren yang juga menghabiskan karirnya sebagai politisi, akademisi, sastrawan, ilmuwan, dan ada juga yang memegang peran ganda yakni sebagai ulama sekaligus seorang politisi, atau bahkan memegang peran keseluruhan.
Pada konteks ini kita menyadari, bahwa kedudukan ulama dan para tokoh agama tidak dapat dipisahkan dari roda pemerintahan. Hal ini dikarenakan, ajaran masa lalu telah memberikan gambaran bahwa pendahulu bangsa baik masa pra-Islam maupun masa kini telah ikut serta dalam dunia pemerintahan.
Selain sebagai bentuk kepedulian terhadap bangsa dan negara, para ulama juga berperan dalam lembaga pendidikannya (pesantren) sebagai penyebar agama Islam sekaligus sebagai penjaga stabilitas sosial-politik di Nusantara. harmoni antara pesantren dan nasionalisme ini sudah selayaknya kita jaga bersama-sama.






