
Masyarakat kita sering tanpa pikir panjang mengucapkan “sabar dan ikhlas” saat teman atau keluarga menghadapi masalah atau musibah. Kita menyampaikan kata ikhlas dan sabar ini semacam bentuk kepedulian, padahal ucapan itu kadang hanya membuat kita sok terlihat peduli. Akibatnya, sebab acap lali, kita tidak sadar bahwa kedua kata ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi orang lain bahkan diri sendiri.
Kita sebenarnya gampang berpikir bahwa kalimat spiritual seperti ikhlas dan sabar pasti membawa kebaikan, tetapi kenyataannya ucapan itu bisa memperburuk masalah. Kita sering memakai kata-kata ini sebagai cara melarikan diri dari persoalan, menutupi luka, atau ingin cepat bebas dari tekanan. Dalam praktiknya, kita justru bersembunyi di balik kata ikhlas dan sabar sambil mengubur dalam-dalam rasa sakit yang seharusnya kita hadapi.
Ketika kita memakai nilai-nilai spiritual untuk membalut luka, kita tidak menghapus masalah apa pun. Kita hanya menutupinya dengan topeng ikhlas dan sabar sampai luka itu lamat-lamat membesar. Masalah yang terus kita abaikan akan tumbuh di dalam diri hingga berubah menjadi bom waktu. Pada akhirnya, kita tidak lagi mampu menahan tekanan karena sejak awal kita tidak mengolah emosi dengan sabar dan tidak menerima kenyataan dengan ikhlas.
Spiritual Bypass dan Akar Masalah
Fenomena ini dikenal sebagai spiritual bypass. John Welwood memperkenalkan istilah ini pada 1984 untuk menggambarkan kebiasaan memakai praktik spiritual demi menghindari luka emosional, rasa bersalah, atau keterikatan duniawi.
Ketika kita memakai praktik spiritual tanpa memahami akar masalah dan tanpa dukungan profesional, kita justru melukai diri sendiri. Kita menjadikan ikhlas dan sabar sebagai pelarian semata, supaya lupa, bukan sebagai proses untuk memahami & berdamai dengan pengalaman batin.
Spiritualitas seharusnya menjadi pendekatan sementara, bukan strategi jangka panjang untuk menyembunyikan masalah. Seseorang yang terus memakai tameng ikhlas dan sabar cenderung merasa malu untuk mengungkapkan luka & mencari sandaran. Kita pun sering menghakimi orang yang menangis dengan ucapan semacam itu, meski ya kita tidak memahami masalah yang sesungguhnya dihadapi.
Baca juga: Jalan Ekonomi Generasi Z
Kita sering mengatakan “jangan bersedih”, “ikhlaskan saja”, atau “bersabar saja” tanpa mempertimbangkan waktu dan kondisi. Ucapan yang tidak tepat justru membuat seseorang merasa malu mengekspresikan emosinya. Kita pun tanpa sadar mengirim pesan bahwa menangis itu bikin malu dan bersedih itu salah, sehingga nilai dari kata berserah dan melapangkan dada bersilih jadi racun yang membungkam ekspresi diri.
Kedua kata yang awalnya indah dapat berubah menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengenali masalahnya, menunjukkan emosinya, dan menyelesaikan konflik psikologis. Karena itu, kita perlu memahami kebutuhan seseorang sebelum memberi nasihat: apakah ia butuh tempat meluapkan emosi, bercerita, atau sekadar didengarkan. Penggunaan nilai spiritual seperti ikhlas dan sabar perlu kita pelajari secara benar agar tidak berubah menjadi alat penyangkalan masalah.
Penggunaan Spiritual yang Sesuai Agama
Pemaknaan ikhlas dalam Islam sering disalahpahami. Islam tidak meminta kita pasrah total tanpa usaha sama sekali, tetapi mendorong kita menyelesaikan masalah sambil menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah.
Tatkala kita mempraktikkan ikhlas dengan benar, hati akan tenang, bukan sekadar menunda persoalan. Prinsip yang sama berlaku dalam konsep sabar—seseorang boleh mengekspresikan emosi selama tidak merugikan diri atau orang lain. Sabar bukan berarti menunggu waktu membereskan luka, tetapi tetap berusaha sebaik mungkin sambil berdoa setulus mungkin.
Baca juga: Facebook Pro dan Ekspresi Ibu Rumah Tangga
Jika kita menengok ajaran Islam lebih dalam, kita akan melihat bahwa agama tidak pernah melarang manusia galau atau bersedih. Allah bahkan menceritakan kesedihan Nabi Ya’qub dalam surat Yusuf ayat 84, di mana beliau menangis hingga matanya memutih.
Jika seorang nabi saja mengekspresikan kesedihan, mengapa kita justru merasa malu menangis? Oleh karena itu, penggunaan aspek spiritual yang benar akan membawa dampak positif, sedang penggunaan ikhlas dan sabar tanpa pemahaman alias ngawur justru mencipta spiritual bypass yang menghambat penyelesaian konflik.






