
Apakah keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan hanya akan menjadi imajinasi hari ini? Orang-orang selalu menginginkannya, tapi tidak berusaha memperjuangkannya. Kalau begitu, bagaimana hal tersebut bisa tercapai?
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin seharusnya mampu menjadi obat penawar bagi masyarakat untuk lepas dari belenggu kemiskinan, penindasan, dan penderitaan. Namun sayangnya, kejumudan berpikir membuat sebagian umat muslim hanya mengandalkan kepasrahan akan takdir yang telah digariskan.
Di tengah stagnasi umat muslim, Ali Syariati menggagas sebuah narasi yang revolutif. Dengan ceramah-ceramahnya, beliau mencoba mengajak umat Islam untuk keluar dari zona kepasrahan ke sebuah jalan panjang memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan dengan berbahai ikhtiar.
Sebelum ke warisan gagasan Ali Syariati, mari kita tengok biografi singkat pemikir penting tersebut. Ali Syariati ialah seorang cendikiawan muslim asal Iran yang lahir pada tahun 1933. Beliau aktif dalam gerakan-gerakan aktivisme Islam itu untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Dalam perjalanan karir intelektualnya, Ali Syariati menempuh kuliah di kampus pendidikan di Masyhad dan setelah lulus, ia melanjutkan studi di Sorbonne, Prancis.
Hari ini, kita (masih) bisa menjelajahi cakrawala pemikiran Ali Syariati lewat berbagai bukunya. Salah satu buku yang menarik dibaca ialah Islam Agama “Protes”. Buku ini mengajak pembaca merefleksikan kembali pemahaman tentang Islam itu sendiri. Apakah kita benar-benar sudah mengenali Islam secara substansial, atau malah sekadar formalitas belaka?
Penantian Adalah Perjuangan
Pada bagian awal, Ali Syariati mencoba mengantarkan pembaca pada sebuah penantian akan Sang Juru Selamat atau Imam Mahdi–yang diidamkan oleh seluruh umat Islam. Pasalnya, lewat Sang Juru Selamat itulah keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan yang hakiki dapat dicapai.
Namun, pemahaman akan penantian ini sering diabaikan atau mungkin disalahpahami oleh kaum muslim. Hingga pada akhirnya, mereka terjebak dalam stagnasi yang tak henti-henti, karena hanya pasrah terhadap takdirnya.
Baca juga: Menelisik Kembali Filsafat Islam
Dalam pandangan Ali Syariati, terdapat dua jenis penantian, yakni penantian positif dan negatif. Penantian negatif adalah ketika permasalahan yang terjadi hari ini dinarasikan sebagai hal yang alamiah dan merupakan bagian dari proses penantian itu sendiri. Sehingga menjadi sia-sia jika berusaha untuk memperbaikinya.
Syahdan, penantian positif ialah ketika penantian dijadikan sebuah bentuk “protes” atas apa yang akan dinantikan di masa depan. Oleh karena itu, untuk keluar dari masalah-masalah sosial ini, Ali Syariati mengajak untuk melakukan perjuangan yang progresif dan revolusioner. Melalui kemandirian diri, umat muslim harus mempunyai kesadaran akan penantian dengan terus memperjuangkan hidupnya dengan tidak sepenuhnya pasrah. Sampai di sini, bisa ditarik simpulan bahwa sebenarnya Islam itu melawan.
Seperti dalam Q.S. Ar. Ra’d ayat 11 yang mengungkapkan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Jelas, bahwa kaum muslim harus memiliki upaya untuk memperjuangkan nasibnya, sehingga tidak terperangkap dalam doktrin kepasrahan akan menerima kemiskinan, penindasan, dan penderitaan yang dialami.
Pendekatan Memahami Islam
Selanjutnya, buku ini memuat isi ceramah Ali Syariati mengenai sebuah pendekatan dalam memahami Islam. Beliau mengungkapkan bahwa untuk mengenal Islam lebih dalam, alangkah baiknya menggunakan cara berpikir dan metodologi yang benar.
Sebagai umat muslim, sudah selayaknya kita juga bertanggung jawab atas identitas yang melekat dalam diri kita. Karena bagi Ali Syariati, “Kita harus mengenali diri kita agar menjadi pengikut agama besar yang bertanggung jawab, dan mengenal Islam secara benar dan metodis”.
Ali Syariati memberikan dua saran metodologi untuk mengenali Islam, yakni lewat sosiologi dan sejarah. Untuk membedahnya, pasti harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, Ali Syariati juga menyarankan metode tipologi. Yakni dengan lima tahap perbandingan, yaitu membandingkan Tuhan, kitab, nabi, masyarakat yang didakwahi nabi, dan pengikut pilihan dari agama itu sendiri.
Baca juga: Polemik Makna Hijrah
Lewat metodologi-metodologi tersebut, Ali Syariati menjelaskan sejarah sampai relevansinya di kehidupan masyarakat dan menjadi manusia yang manusiawi. Oleh karena itu, Ali Syariati menyebutkan bahwa “misi Islam adalah untuk mengarahkan masa depan manusia”.
Dengan memahami Islam secara tepat dan bijaksana, kita akan terus memperjuangkan hidup dengan melakukan perlawanan atas pusparagam ketidakadilan dan penindasan dalam sebuah fase menanti masa depan yang indah.
Terakhir, buku ini secara implisit dapat dipahami sebagai narasi pendorong umat Muslim untuk mencapai kesadaran akan perlawanan terhadap segala sistem yang menindas sebagai bagian dari penantian positif yang diwacanakan oleh Ali Syariati. Karena, berdoa tanpa aksi nyata juga tidak akan ada hasilnya.