Jalur Sutra
Ilutrasi dari wikipedia

Narasi keemasan peradaban Islam, masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, telah lama menjadi kurikulum baku dalam sejarah kebudayaan di berbagai pendidikan Islam, baik menengah maupun pendidikan tinggi. Kurikulum tersebut menyuguhkan kisah romantisme tentang keterbukaan intelektual, program penerjemahan besar-besaran di Bayt al-Hikmah dan peran pokok Islam dalam menyelamatkan warisan Yunani kuno, yang kemudian menjadi katalis bagi Renaisans Eropa. 

Narasi ini benar, tentu saja, namun terasa pincang karena mengabaikan fondasi material yaitu fakta yang membiayai kemegahan intelektual tersebut. Bahwa untuk mendanai pena dan kertas di Baghdad, diperlukan emas dan perak yang diperoleh dari karavan yang melintas di Umayah maupun Abbasiyah sebagai salah satu otoritas jalur sutra kuno, sehingga kemajuan peradaban Islam terutama pada aspek ilmu pengetahuan bukan hanya semata-mata produk idealisme filsafat, melainkan pula didukung oleh basis fiskal yang kuat.

Fondasi yang terlupakan itu adalah Jalur Sutra Kuno (Old Silk Road). Selama berabad-abad, jalur perdagangan darat yang membentang dari Tiongkok hingga Mediterania ini berfungsi sebagai nadi ekonomi utama dunia. Bagi kekhalifahan Abbasiyah dan sebelumnya Umayyah, jalur ini bukan sekadar rute dagang. 

Profit dari lalu lintas barang mewah (sutra, rempah-rempah, porselen) dan komoditas strategis inilah yang memungkinkan dinasti Islam mendanai proyek ambisius. Serentetan proyek seperti pembangunan istana, membayar kompensasi tinggi para penerjemah filsafat dan mengongkosi operasi militer untuk memperluas teritori kekuasaan. Singkatnya, produksi pengetahuan di “Era Keemasan” adalah fungsi langsung dari akumulasi modal perdagangan global yang disalurkan melalui Jalur Sutra. Tanpa adanya sirkulasi modal yang masif dan terjamin, mustahil Bayt al-Hikmah dapat beroperasi sebagai pusat studi kelas dunia.

Mekanika Material Bayt al-Hikmah

Kekhalifahan Abbasiyah, terutama di bawah Khalifah Al-Ma’mun, menghargai buku dan penerjemah dengan cara yang tak terbayangkan. Sejarawan mencatat bahwa para penerjemah dibayar setara dengan berat buku yang mereka terjemahkan dalam emas. Kebijakan kompensasi yang fantastis ini menjadi sebuah praktik yang kini dikenal sebagai patronase negara terhadap ilmu pengetahuan dan hanya mungkin terjadi karena kas negara melimpah ruah.

Fakta ini menegaskan bahwa pengetahuan tidak hanya dibangun atas idealisme pengetahuan tetapi juga dilandasi basis ekonomi yang kuat. Maka Bayt al-Hikmah bisa disimpulkan bukanlah buah idealisme murni semata, melainkan produk sampingan dari hegemoni perdagangan yang efisien dan menguntungkan. 

Baghdad, sebagai titik pertemuan Jalur Sutra, bertindak sebagai sentra budaya yang menarik para sarjana dari Persia, India, hingga Suriah. Kehadiran karavan yang aman, sistem mata uang (dinar emas) yang stabil, dan infrastruktur penyimpanan serta distribusi yang pasti, adalah prasyarat material bagi ledakan intelektual tersebut. Stabilitas ini menghilangkan risiko perdagangan, memaksimalkan pendapatan pajak, dan pada gilirannya, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para ulama dan hakim untuk fokus pada reproduksi dan kreasi ilmu, alih-alih hanya pada perjuangan bertahan hidup. Peradaban tak akan pernah menemukan algebra atau mengembangkan kedokteran jika para pemimpinnya kelewat sibuk menghitung kekurangan kas.

Runtuhnya Jalur Darat dan Kemalasan Sejarah

Wacana sejarah acap menyederhanakan kemunduran politik-ekonomi Islam pasca-Abbasiyah dengan hanya berfokus pada faktor internal: korupsi, konflik suksesi, atau invasi Mongol. Faktor-faktor tersebut valid, tetapi jangan lupa ada faktor lain yang tidak terjamah sejarawan Islam: perubahan struktural ekonomi global.

Hal ini ditandai berakhirnya dominasi Jalur Sutra darat yang tidak langsung juga awal kemunduran Islam dan beralihnya hegemoni perdagangan ke jalur maritim. Seiring dengan dimulainya Era Penjelajahan Samudra oleh bangsa Eropa pada abad ke-15, rute darat menjadi nirefektif, terlalu riskan, dan kalah efisien dari kapal-kapal besar yang mampu mengangkut rempah-rempah dalam jumlah signifikan.

Baca juga: Meneladani Kanjeng Nabi: Agama sebagai Pembebas, Bukan sekedar Penenang

Pergeseran ke jalur laut, yang dipelopori oleh pelaut Portugis dan Spanyol, merupa contoh klasik dari disrupsi ekonomi yang mengubah sejarah. Dalam kacamata teori struktural, ini adalah fenomena The Great Divergence di mana Barat mulai meninggalkan Timur. Keputusan para pedagang memindahkan fokus ke jalur laut ini efektif memutus urat nadi ekonomi yang selama ini memakmuran dinasti-dinasti Islam.

Dana yang sebelumnya mengalir sebagai pajak transit ke kas Umayyah, Abbasiyah, dan bahkan kesultanan di wilayah jalur darat, tiba-tiba mengering. Dampak ini jauh lebih mendasar daripada sekadar pergantian pemimpin. Penurunan drastis pendapatan negara secara langsung melumpuhkan pertahanan proyek-proyek publik, pembiayaan inovasi, dan yang terpenting, stabilitas politik.

The Great Divergence dan Warisan Kemiskinan

Dengan kondisi ini, Timur Tengah yang sebelumnya memegang kunci geografis jalur darat, tiba-tiba menjadi wilayah teritorial yang landlocked dalam sistem perdagangan baru. Mereka kehilangan posisi gatekeeper yang memungkinkan mereka mengenakan biaya transit. Wilayah yang dulunya kaya karena strategis, kini menjadi miskin karena tidak lagi berada di rute utama.

Akibatnya, dinasti-dinasti Muslim besar seperti Utsmaniyah (Turki) dan Mughal (India/Pakistan) meskipun berusaha beradaptasi dengan perdagangan maritim (Jalur Sutra Laut) tidak pernah mampu sepenuhnya mengambil alih kontrol dan dominasi logistik dari kekuatan baru yang terbit dari Eropa. Sebenarnya Eropa tak hanya menemukan rute baru, tetapi juga mengembangkan teknologi kapal dan persenjataan yang jauh lebih unggul. Inilah yang pada akhirnya memungkinkan mereka mengontrol dan memonopoli rute maritim tersebut.

Baca juga: Kiai Sholeh Darat: Ulama Intelektual Penyebar Islam di Jawa

Kemunduran ini bukan sekadar kemunduran militer atau politik. Ini adalah kemunduran fiskal yang panjang & melumpuhkan kemampuan Kekaisaran Utsmaniyah untuk membiayai modernisasi militer, atau Kekaisaran Mughal untuk mengimbangi tekanan dari kekuatan East India Company.

Kemiskinan yang kita lihat di sebagian besar wilayah yang dulunya merupakan pusat Jalur Sutra kuno, dari sebagian Timur Tengah hingga Asia Tengah, dapat ditelusuri kembali pada dislokasi ekonomi global. Warisan dislokasi ini terlihat jelas. Sebagian besar negara di sepanjang rute Jalur Sutra darat kuno kini berjuang dengan pembangunan dan ketergantungan ekonomi, sebuah bukti abadi dari apa yang terjadi ketika fondasi material sebuah peradaban dicabut.

Menggugat Narasi Sentris, Membaca Realitas Kontemporer

Analisis ini mengajak kita untuk menggeser lensa dari narasi sentris istana yang mengagungkan kejeniusan tunggal para khalifah, menjadi pemahaman struktural-materialis. Sebuah pandangan yang mendisposisikan ekonomi global sebagai basis peradaban. Dengan demikian, kita paham mengapa wilayah bekas kekhalifahan Islam (Timur Tengah-Asia Tengah) di jalur darat mengalami kesulitan ekonomi yang persisten.

Lalu, bagaimana narasi yang terlupakan ini relevan bagi umat Islam di Nusantara atau Indonesia? Sebuah bentang archipelagic yang merupakan bagian integral Jalur Rempah yang turut disrupsi oleh imperialisme Eropa, harus belajar dari kesalahan interpretasi sejarah tersebut. 

Mengagungkan kebesaran Majapahit atau Sriwijaya tanpa memahami sistem perpajakan maritim dan kontrol pelabuhan mereka adalah romantisme yang sama berbahayanya. Sejarah kemunduran Umayyah-Abbasiyah mengajarkan bahwa kapital adalah bahan bakar ampuh bagi intelektualisme. Untuk mereproduksi pengetahuan dan kebudayaan yang unggul, sebuah bangsa harus memiliki kemandirian ekonomi untuk menopang laboratorium-nya.

Matinya Jalur Sutra darat lantas meruntuhkan hegemoni politik. Lebih jauh, fenomena ini menghancurkan ekosistem pertukaran budaya dan pengetahuan yang telah menstimulasi reproduksi intelektual selama ratusan tahun. Mengenali Jalur Sutra lebih dari rute perdagangan tetapi modal investasi peradaban, kita memberi kontekstualisasi yang jujur terhadap masa keemasan Islam. Tugas kita sebagai pewaris peradaban adalah menyeimbangkan neraca sejarah: merayakan Bayt al-Hikmah sambil menghormati karavan yang membiayainya. Romantisme keilmuan harus diimbangi pragmatisme ekonomi, agar kita tidak hanya merayakan “pena” tetapi juga memahami peran sentral “uang” yang membelinya.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here