
Awal bulan Februari yang lalu, tepat setelah melaksanakan salat isya, saya di-chat melalui WhatsApp diminta membikin kaligrafi oleh salah satu pengurus takmir masjid di Yogyakarta. Isi pesannya adalah permintaan kepada saya untuk membuat kaligrafi kufi murabba’ (salah satu jenis kaligrafi digital kontemporer).
Dengan senang hati saya meng-iyakan sembari menanyakan untuk apa kaligrafi tersebut akan digunakan dan difungsikan. Rupanya, kaligrafi yang akan saya buat itu akan dicetak dan disablon pada seragam panitia ramadan dan taplak meja pengajian.
Penasaran, saya lanjut bertanya tentang alasan pemilihan jenis kaligrafi kufi murabba’ (dalam bahasa Inggrisnya lebih populer disebut dengan square kufic). Lantas, pengurus takmir tersebut menyatakan bahwa pemilihan jenis kufi murabba’ ini didasarkan pada arsitektur masjidnya yang bercorak modern. Di samping itu, pun sebagai sinkronisasi dengan interior masjid yang dihiasi dengan lafadz-lafadz asmaul husna yang notabenenya juga menggunakan kufi murabba’.
Satu hal yang menarik ialah penyablonan atau pencetakan kaligrafi kufi murabba’ ini pada kaos panitia ramadan. Memang, tradisi pengurus masjid di beberapa daerah Indonesia memiliki cara tersendiri untuk menyemarakkan bulan suci ramadan termasuk di antaranya masjid-masjid di Yogyakarta.
Tidak dapat dipungkiri juga, kaligrafi kufi murabba’ mengandung seni keislaman yang fleksibel untuk diterapkan dalam berbagai media. Berbeda dengan jenis kaligrafi lainnya yang memiliki aturan (kaidah) dan kegunaannya sendiri.
Kaligrafi dan Islam
Istilah kaligrafi merupakan serapan dari kata calligraphy, istilah dalam bahasa latin yang merujuk pada aksara atau tulisan yang Indah (Sirajuddin,2016). Sedangkan dalam tradisi Arab dan Islam, tulisan indah biasa disebut dengan khat atau khattul ‘arabi.
Baca juga: Hijab dan Kecantikan
Umumnya, tulisan yang indah bisa dikategorikan sebagai kaligrafi baik itu tulisan arab ataupun tulisan yang menggunakan huruf-huruf alfabet. Di Indonesia untuk menunjuk pada tulisan Arab biasa disebut dengan kaligrafi Arab.
Secara historis, perkembangan kaligrafi memiliki hubungan yang erat dengan Islam. Alain George dalam bukunya yang berjudul The Rise of Islamic Calligraphy (2023), menjabarkan kesejarahan kaligrafi Arab berikut evolusi dan keterkaitannya dengan peradaban Islam.
Melalui penelusurannya terhadap naskah-naskah kuno, ia menemukan beragam jenis tulisan kaligrafi yang digunakan dalam berbagai media, mulai dari prasasti, lembar gulungan dan koin untuk menciptakan seni keindahan.
Menurutnya, kaligrafi merupakan salah satu seni keindahan tertua yang paling diagungkan dan dihormati dalam peradaban Islam. Sejak abad pertama, Islam sebagai agama baru hingga mencapai kejayaan, kaligrafi menjadi salah satu unsur yang tercakup di dalamnya.
Seiring berkembangnya waktu, tradisi awal kaligrafi Al-Qur’an digantikan dengan gaya kursif dan masih digunakan sampai saat ini. Evolusi kursif tersebut terjadi disebabkan karena tulisan-tulisan lama sulit dibaca.
Secara periodik, klasifikasi perkembangan kaligrafi dimulai sejak masa Nabi Saw sampai masa pasca Dinasti Abbasiyah (Mario Bagus Sanjaya, 2023).
Pada masa Nabi Saw. sampai masa Ali bin Thalib, kaligrafi tergolong sangat kuno yang didasarkan pada regional tempat tulisan diterbitkan seperti Mekkah, Madinah, Hijaz, Anbar, Hirah dan Kufah. Dokumentasi kaligrafi masa ini dibuktikan dengan tulisan pada prasasti, lembaran dan peninggalan tulisan para Sahabat Nabi.
Kedua, kaligrafi pada masa Bani Umayyah mengalami perkembangan jenis yang cukup bervariasi. Perkembangan ini tentu muncul karena adanya kebijakan pemerintah terhadap seni dan sastra saat itu. Pada masa ini juga muncul ketidakpuasan terhadap Khat Kufi yang dianggap memiliki pola garis lurus dan bersiku, sehingga ditemukan gaya tulisan Tumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts.
Ketiga, munculnya para seniman kaligrafi karena adanya kesadaran petinggi Dinasti Abbasiyah terhadap seni. Beberapa seniman tersohor pada masa ini yaitu Ad-Dahhak Ibnu ‘Ajlan, Al-Ahwal Al Muharrir, Muhammad Ibnu As-Simsimani, Muhammad Ibnu Asad dan Ishaq Ibnu Muhammad. Saat itu, Ibnu Muqlah menjadi tokoh sentral dalam perkembangan variasi kaligrafi Arab, sehingga ditemukan gaya kaligrafi Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’ dan Tauqi.
Kaligrafi mengalami integrasi dengan model-model desain kontemporer dan produk komersial. Sering kali, kaligrafi dijadikan sebagai branding produk dan menginspirasi merancang pakaian untuk mengekspresikan kesalehan
Pasca periode Dinasti Abbasiyah, kaligrafi berkembang luas di beberapa negara Islam bagian barat seperti Maroko dan Mesir. Di Maroko muncul gaya kaligrafi Khat Maghribi yang menjadi induk bagi cabang khat Qairawani, Andalusi, Fasi dan Sudani. Selanjutnya, kaligrafi berkembang di negara Islam lainnya seperti Ikhaniyah, Timuriyah, Safawiyah, Dinasti Mamluk, Turki Usmani dan Islam Mughal di India.
Di Indonesia, kaligrafi dibedakan dalam tiga kategori, yaitu kaligrafi murni, kaligrafi lukis dan kaligrafi digital. Kaligrafi murni merujuk pada seni kaligrafi tulis tangan dengan menggunakan pena khusus diatas media kertas. Sedangkan kaligrafi lukis biasanya menggunakan alat tulis kuas dan cat yang diterapkan pada media kanvas dan kadang juga pada kertas karton tebal.
Jenis ketiga, kaligrafi digital lebih mengandalkan aplikasi digital dan software tertentu untuk mendesain tulisan kaligrafi dan biasanya dicetak dalam bentuk media yang beragam seperti banner, pamflet, sablon kaos dan lain sejenisnya.
Simbol Kesalehan
Berkembangnya kaligrafi di Indonesia secara masif dimulai sejak adanya ajang perlombaan MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an). Selain perlombaan cabang tilawah Al-Qur’an, acara tersebut juga melombakan berberapa cabang jenis kaligrafi mulai dari kaligrafi tulis sampai kaligrafi lukis. Oleh sebab itu, atmosfer kaligrafi semakin menghiasi dan memberikan nilai-nilai religiusitas kepada masyarakat Indonesia.
Tak ayal, kaligrafi bukan sekadar goresan pena atau tulisan huruf yang hanya memanjakan mata secara visual. Lebih dari itu, kaligrafer kenamaan pada masa Dinasti Abbasiyah, Yaqut Al-Musta’shimi pernah menyatakan bahwa al-khattu handasatun ruhaniyah dhaharat bi alatin jismiyah (Sirajuddin,2016). Artinya, konstruksi pada setiap huruf kaligrafi itu mengandung nilai-nilai kerohanian yang dikemas melalui perangkat fisik (kebendaan).
Baca juga: Mitos Menjembatani Tradisi dan Pemahaman Modern (1)
Seiring berkembangnya waktu, kaligrafi mengalami akulturasi dengan teknologi modern nan canggih sehingga menciptakan budaya baru di Indonesia. Kaligrafi yang tadinya diresepsi sebagai seni menulis indah ayat Al-Qur’an mengalami pergeseran pada resepsi dekoratif. Kaligrafi tak jarang dijadikan hiasan dekorasi pada dinding-dinding rumah, kantor tempat kerja dan lain sejenisnya.
Bahkan melampaui hal itu, kaligrafi mengalami integrasi dengan model-model desain kontemporer dan produk komersial (Salma Azizah & Hikmah Maulani, 2024). Sering kali, kaligrafi dijadikan sebagai branding produk dan iklan sebagai bentuk ekspresi yang memungkinkan dapat menarik perhatian masyarakat luas. Uniknya lagi, kaligrafi jamak dijadikan sebagai inspirasi untuk merancang busana pakaian.
Beberapa desainer pakaian di Indonesia mengambil inspirasi desain dengan kaligrafi Arab untuk dijadikan sebagai motif dalam busana yang mereka rancang. Hal ini tentu akan menciptakan identitas baru terhadap dunia fashion Indonesia. Sebab, penggunaan kaligrafi pada motif pakaian mencerminkan seni keindahan sebuah dialektika antara tradisi dan budaya modern.
Berkaitan dengan hal itu, saya banyak mengamati bahwa beberapa desainer pakaian di Indonesia sering kali mengutip quote-quote Islami yang dikemas dengan sablonan kaligrafi sebagai motif pada pakaian. Beberapa quote tersebut di antaranya seperti tulisan fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), man jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil), salam (peace/perdamaian) dan kadang juga potongan ayat Al-Qur’an tertentu.
Baca juga: Senarai Kisah Pelancong Buku
Resepsi dan apresiasi masyarakat terhadap kaligrafi menjadi simbol religiusitas dan spiritual. Berpakaian dengan motif kaligrafi mengartikulasikan ekspresi kesalehan diri dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, mengenakan busana bermotif kaligrafi memiliki kesan tersendiri bagi orang yang mengenakannya sekaligus sebagai bentuk pengalaman dalam beragama.
Tentu hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang berkembangnya kaligrafi bergumul dengan tradisi Islam dan Al-Qur’an. Masyarakat menganggap kaligrafi menyiratkan kesakralan dan sarat akan nilai-nilai agama yang dihormati.