Telaga Sarangan merupakan salah satu distinasi wisata yang elok nan indah untuk dikunjungi. Banyak kawula muda dan masyarakat dari luar Magetan menyempatkan diri untuk datang menikmati pesona alamnya yang menawan dan menenangkan. Objek wiasata ini berlokasi di lereng Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur dengan ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut.

Setiap hari Telaga Sarangan ramai dikunjungi wisatawan, hal ini menjadikan Telaga Sarangan sebagai destinasi wisata unggulan di Kabupaten Magetan. Lokasinya yang sejuk dan damai dihiasi oleh pemandangan gunung serta telaga menambah kesan baik bagi para pengunjung untuk hadir menikmati keasrian alamnya.

Sebagai tempat yang digemari wisatawan, labuhan Telaga Sarangan dipenuhi oleh berbagai fasilitas penunjang, seperti rumah makan, tempat ibadah, bermain, taman, kios cindera mata dan penginapan. Rekreasi di Telaga Sarangan, tidak afdol rasanya jika tidak menjajal 2 hal ini, yaitu menaiki kuda dan perahu.

Masyarakat sekitar biasa meyebutnya Numpak Jaran atau Numpak Kapal sebagai syarat telah berkunjung di Telaga Sarangan. Sekali bayar, pengunjung dapat merasakan 1 kali perjalanan memutari telaga dengan menunggang kuda atau berlayar menggunakan Speedboat.

Baca juga: Petirtaan Dewi Sri: Simbol Kedamaian Desa Simbatan

Terdapat beberapa kuliner yang sering dicari sekitar telaga berupa sate kelinci, nasi pecel dan jagung bakar. Dilain sisi masyarakat juga menjajakan beraneka ragam kerajinan tangan serta oleh-oleh khas Telaga Sarangan bagi para pengunjung.

Seperti kerajinan anyaman bambu, kulit, dan souvenir sebagai kenang-kenangan untuk dibawa pulang. Tak hanya memperlihatkan pemandangan alamnya yang mempesona, Telaga Sarangan juga menyimpan berbagai nilai-nilai budaya.

Filosofi Larung Sesaji

Upacara Labuhan/Larung Sesaji atau biasa disebut sebagai acara tumpengan menjadi keunikan tersendiri bagi masyarakat Magetan maupun luar daerah untuk datang ke Telaga Sarangan. Labuhan dalam adat Jawa mengartikan upacara adat untuk mempersembahkan atau membuang sesuatu ke tempat tertentu sebagai ungkapan syukur dan doa.

Sedangkan tumpeng sendiri dalam filosofi Jawa melambangkan kesuburan dan keharmonisan antara alam sekitar dengan manusia. Acara ini sebenarnya dilaksanakan sebagai wujud pelestarian budaya leluhur dan bersih desa warga kelurahan Sarangan.

Melalui laman sarangan.magetan.go.id dijelaskan, bahwa tradisi tumpengan dilakukan setiap satu tahun sekali pada hari Jum’at Pon, dibulan Ruwah menjelang datangya bulan suci Ramadhan. Sebelum Larung Sesaji, terdapat runtututan acara lain seperti penyembelihan kambing, ziarah makam, tirakatan, serta pagar desa (Stevani, 2025).

Tumpeng sendiri dalam filosofi Jawa melambangkan kesuburan dan keharmonisan antara alam sekitar dengan manusia. Acara ini sebenarnya dilaksanakan sebagai wujud pelestarian budaya leluhur dan bersih desa warga kelurahan Sarangan

Selain itu, pelaksanaan selamatan dan larungan tumpeng dengan menyiapkan 2 ubarampe utama berupa gunungan tumpeng setinggi 2 meter. Gunungan (Tumpeng) pertama berisikan nasi putih atau disebut sebagai Gono Bahu dan gunungan kedua berupa sayur mayur/Tedak Ripih. “Tedak Ripih” sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu turun dengan rapi, memperlihatkan sayur mayur yang disusun dengan rapi seperti gunungan (Wachid, 2025).

Hasil bumi ini kemudian diarak atau kirab tumpeng dari kelurahan Sarangan bersama rombongan pengiring tumpeng yang terdiri dari pasukan berkuda, Cucuk Lampah, Demang, Kejawen, Bonang Renteng, warga Sarangan dan kesenian daerah seperti Reog Ponorogo menuju pundhen desa, sebelah timur telaga.

Setibanya ditelaga, kedua ubarampe di naik-kan ke perahu dan diarak memutari telaga, setelah itu dilarung di tengah telaga. Diungkapkan oleh Sutowo Harjo Sumarto, selaku sesepuh adat kelurahan Sarangan, bahwa tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun itu adalah wujud rasa syukur kepada Tuhan dan bentuk penghormatan terhadap Kiai Pasir dan Nyai Pasir sebagai penjaga Telaga Sarangan (Sari, 2025).

Legenda Telaga

Melansir Kompas.com (2022), legenda Telaga Sarangan dulunya terbentuk secara alami, namun di tengahnya ada satu pulau dianggap keramat penduduk setempat. Pulau tersebut konon merupa lokasi bersemayamnya roh Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Melalui dua sosok tersebut masyarakat sekitar menyebut Telaga Sarangan dengan nama Telaga Pasir.

Mitos yang beredar mengungkapkan kedua sosok tersebut merupakan suami istri yang tak kunjung diberi momongan meski telah berumah tangga bertahun-tahun. Lantaran tak kunjung dikaruniai anak, keduanya semedi meminta anak kepada Sang Hyang Widhi.

Akhirnya permintaan itu dikabulkan. Lahir anak lelaki bernama Joko Lelung. Merasa aktivitas keseharian mereka cukup berat untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan hanya mengandalkan bercocok tanam dan berburu. Akhirnya Kyai dan Nyai Pasir meminta kepada Sang Hyang Widhi agar diberi kesehatan dan umur panjang.

Lalu keduanya mendapat petunjuk agar permintaanya dikabulkan, mereka harus menemukan dan memakan telur di dekat ladang. Nyai Pasir menemukan telur tersebut dan dibawa pulang untuk dimasak, lalu dimakan keduanya sesuai petunjuk yang diberikan.

Beberapa waktu kemudian Kyai Pasir pergi ke ladang, di perjalanan badannya terasa gatal dan panas lalu menggaruknya sampai lecet sekujur tubuh. Nyai pasir juga mendapatkan hal serupa sampai keduanya berubah menjadi ular naga dan berguling-guling di atas pasir. Kejadian itu menimbulkan cekungan dan muncullah air dari dasar pasir.

Baca juga: Tradisi Sebaran Apem di Klaten

Mengetahui telah memiliki kekuatan, keduanya berencana membuat cekungan lebih besar untuk menenggelamkan Gunung Lawu. Rencana kedua orangtuanya diketahui Joko Lelung dan akhirnya Joko meminta Sang Hyang Widhi agar kedua orangtuanya tak melakukan hal tersebut.

Setelah dikabulkan, Kyai dan Nyai Pasir berhenti membuat cekungan, tetapi air tetap mengalir. Setelah peristiwa itu, Kyai dan Nyai Pasir berubah menjadi makhluk ghaib dan dipercaya menjadi penunggu Telaga Pasir. Walau hanya legenda, masyarakat sekitar tetap mempercayai mitos tersebut dan melakukan acara labuh sesaji setiap tahun sebagai bentuk penghormatan.

Bagikan
Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta, Peminat Kajian Rektorika Kehidupan dan ketenangan.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here