Intisari Serat-serat di Jawa

Menilik kesusastraan di Nusantara tentu tak akan ada habisnya, lebih-lebih kitab adhiluhung yang disusun oleh para pujangga Jawa. Mulai dari Prabu Jayabaya, Pangeran Karanggayam, Sri Susuhunan Pakubuwana IV, KGPAA Mangkunegaran IV, Sultan Agung Hanyakrakusuma hingga R.Ng. Ranggawarsita.

Satu di antara buku yang membahas kesusastraan dengan intisari serat di Nusantara, khususnya Jawa, adalah buku Intisari Kitab-Kitab Adhiluhung Jawa Terlengkap. Buku ini membahas dan membuat semacam intisari serat. Buku ini ditulis oleh Soedtjipto Abimanyu. Nama penulis ini sudah tidak asing lagi dalam belantara literatur di Indonesia. Karya-karyanya perihal sejarah dan budaya Jawa sudah banyak malang-melintang, salah satunya Babad Tanah Jawi.

Dari puluhan hingga ratusan kitab adhiluhung yang tersebar, penulis hanya  memberi gambaran kepada lima belas kitab adiluhung, dimana kitab yang disajikan tersebut memiliki persentase relevansi yang tinggi dengan zaman sekarang.

Di antaranya mungkin sudah tidak asing di telinga, tetapi kita tidak mengetahui arti sebenarnya apa dan berasal dari mana. Termasuk yakni, Ngelmu iku lakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkase dur angkara,

“Ilmu itu hanya didapatkan melalui laku (tawwakal dan ikhtiar), dimulai dengan kemauan (niat yang kuat), iman dan budi yang teguh dapat menangkal segala goda angkara”.

Penulis menjelaskan dalam buku ini bahwa petuah tersebut berasal dari Serat Wedhatama di bagian pupuh pucung yang ditulis oleh Mangkunegara IV.

Secara garis besar, makna yang terkandung dalam Serat Wedhatama ini merupa falsafah kehidupan yang luhur, semacam bagaimana menganut agama dengan bijak dan menjadi manusia seutuhnya. Perlu diketahui juga dalam kitab ini ada beberapa bagian yang merupa sebentuk kritik Mangkunegara IV kepada kaum Islam ortodoks yang menggaungkan gerakan pemurnian Islam pada masa itu.

Ilmu itu hanya didapatkan melalui laku (tawwakal dan ikhtiar), dimulai dengan kemauan (niat yang kuat), iman dan budi yang teguh dapat menangkal segala goda angkar

Selain itu Soedjipto juga memberitahu kepada pembaca bahwa ada sebagian kitab yang mempunyai beberapa versi berbeda. Salah satunya yaitu, naskah Serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung Hanyakrakusuma yang terdapat tiga versi beda.

Di naskah yang berada di Museum Radya Pustaka Surakarta terdiri dari tujuh puluh dua bait, sedang naskah versi Perpusnas Jakarta terdiri dari seratus bait, sementara menurut versi Pakualaman Yogyakarta justru terdiri dari tujuh puluh tiga bait. Bertolak dari adanya ketiga versi yang beraneka tersebut, Soedjipto menegaskan bahwa esensi dari Serat Sastra Gendhing tetaplah sama; tidak jauh beda.

Baca juga: Akulturasi Islam-Jawa: Sedekah Bumi, Seni, dan Kirab Budaya 

Selain mengungkai soalan isi, Soedjipto juga melengkapi dengan biografi singkat pujangga yang menulis kitab-kitab masa lampau tersebut. Yang menjadi unik dari buku ini adalah penulis juga menceritakan detail latar belakang kondisi sang pujangga ketika menulis kitabnya.

Umpamanya, usai menulis Serat Kalatidha, pangkat Ranggawarsita tidak dinaikkan seperti yang diharapkannya. Lantas saja, ia menulis syair yang berisi generalisir dari keadaan tersebut dan menganggapnya sebagai zaman tak lagi menentu/kalatidha.

Hal ini menarik, karena di balik petuah-petuah sejuta manfaat dalam Serat Kalatidha ternyata adalah hasil dari keresahan seorang pujangga yang menganggap bahwa ada krisis moral di Keraton Kasunanan Surakarta masa itu.

Yang tak kalah menarik kala keadaan/keresahan tersebut nyatanya masih terjadi hingga masa kini. Membuat Serat Kalatidha masih amat relevan bila dijadikan petunjuk hidup zaman sekarang yang tergolong zaman edan.

Hal yang juga menjadi perhatian saya dalam buku ini yakni, diceritakan bahwa Prabu Jayabaya ketika menulis Jangka Jayabaya, konon Jayabaya sedang menghadapi keadaan negara yang pelik. Lalu, ia pergi merenung ke Padepokan Mamenang untuk mencari jawaban/petunjuk Gusti.

Berbeda dari Serat Kalatidha, kitab Jangka Jayabaya yang notabene-nya berisi ramalan-ramalan ini sarat dengan kontroversi. Mulai dari siapa penulis asli Jangka Jayabaya hingga kebenaran akan ramalan di dalamnya.

Tan Malaka, pejuang kemerdekaan Indonesia, dalam buku Madilog membeberkan bahwa ada banyak ramalan di Jangka Jayabaya yang meleset. Mulai dari ramalan Surakarta akan lenyap pada tahun 1801 (masehi), ramalan ibukota pemerintahan berada di Kediri, ramalan akan adanya Raja Keling yang membebaskan tanah Jawa dan masih banyak lagi.

Baca juga: Pesantren: Melanggengkan Tradisi, Menjaga Silaturahmi

Pada masa kini, mungkin banyak orang yang menafikan ramalan Jangka Jayabaya ini. Namun, kitab Jangka Jayabaya tetap menyimpan nilai-nilai di dalamnya. Mau percaya atau tidak, isi di dalamnya semua tergantung dari sudut mana persepsi yang kita ambil ketika membaca Jangka Jayabaya.

Alhasil, dengan adanya ulasan dan gambaran keadaan latar belakang pujangga ketika menulis kitabnya tentu akan memudahkan pembaca untuk memahami intisari daripada kitab-kitab luhur masa silam tersebut.

Mungkin dari kita hanya sebatas mengetahui petuah tersebut dari internet, muncul sepintas di antara seabrek postingan media sosial, hingga tidak mengetahui tafsir/uraian petuah tersebut. Melalui buku ini, setidaknya kita dapat mengerti biografi singkat penulis, potongan isi kitab, sampai intisari serat atau makna kitab tersebut.

Judul buku : Intisari Kitab-Kitab Adhiluhung Jawa Terlengkap

Pengarang : Soedjipto Abimanyu

Penerbit : Laksana

Tempat Terbit : Yogyakarta

Tebal Buku : 336 Halaman

ISBN : 978-602-255-699-2

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here