
Ketika berbicara mengenai agama dan Nabi Muhammad SAW, maka yang tertuju adalah agama Islam. Islam sendiri merupakan agama dengan pemeluk terbanyak di Indonesia. Oleh karena itu, penting rasanya untuk mengetahui lebih dalam mengenai peran Islam dan cara meneladani Nabi Muhammad SAW dalam konteks ke-Indonesia-an.
Di tengah kondisi sosial-ekonomi Indonesia yang kian timpang belakangan ini, agama niscaya memiliki posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Bagi kalangan kelas bawah, yang seringkali terpinggirkan dan berada di periferi, agama barangkali adalah penenang dan sumber kekuatan.
Bagi buruh dengan gaji minim, petani yang hasil panennya dijual murah, atau nelayan kecil yang bergantung pada cuaca, mereka menempatkan doa dan ibadah sebagai kekuatan tersembunyi. Sumber yang acapkali mampu membentengi diri mereka dari lelah dan susah. Karena bagi mereka, agama menawarkan ketenangan batin dan membuat mereka mampu bertahan.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan September 2024, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 24,06 juta orang, atau sebesar 8,57%. Angka ini memperlihatkan bahwa masih ada jutaan masyarakat yang harus bergulat dengan ekonomi dalam memperjuangkan (hak) hidupnya.
Dalam kondisi seperti ini, muatan agama sering dijadikan sebagai doktrin penenang, seperti yang diserukan di mimbar-mimbar pengajian. Doa, dzikir, dan ibadah rutin menjadi penghibur di tengah kerasnya hidup. Keyakinan kepada Tuhan ini memberi optimisme dan daya tahan psikologis. Sebagaimana firman Allah SWT, sebagai berikut:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’d: 28)
Namun, jika agama hanya dilihat sebatas penenang, perannya akan menjadi sempit. Sebab sejatinya, peran agama lebih luas dan universal. Jika kita menengok sejarah, Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan bahwa agama dapat menjadi sebuah kekuatan pembebas(an). Islam hadir bukan semata memberi ketenangan spiritual, melainkan juga dapat mengubah struktur sosial yang timpang dan segregatif.
Baca juga: Mengetengahkan Narasi Minor, Menggapai Wacana Inklusif
Selain itu, ketika agama diyakini hanya sebagai penenang, maka akan muncul risiko baru. Agama dapat membuat masyarakat menjadi pasif, menerima keadaan tanpa keharusan-keuletan mengubah keadaan hidup. Inilah yang menjadi titik kritis, agama tidak boleh sekadar menjadi candu yang menina-bobokan, tetapi selayaknya menjadi kekuatan untuk membebaskan belenggu kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Oleh sebab itu, penting kiranya guna mempelajari kembali peran agama dalam konteks Indonesia di era modern ini. Apakah agama masih berfungsi sebagai kekuatan pembebas(an), atau hanya berhenti pada fungsi penenang?
Nabi Muhammad dan Islam Sebagai Kekuatan Pembebasan
Melihat kembali sejarah, pada masa-masa sebelum Islam datang, Mekkah mengalami ketimpangan sosial yang cukup memprihatinkan. Perbudakan dilegalkan, perempuan kehilangan hak-hak dasar, dan perang antar suku yang sering terjadi.
Dalam situasi sengkarut semacam ini, Islam datang dengan pesan revolusioner. Dalam Q.S. Al-Hujurat:13 ditegaskan bahwa “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa”. Prinsip ini membuat struktur sosial yang menempatkan status dan kekayaan sebagai ukuran yang bertingkat menjadi runtuh dan mendapat tinjauan ulang.
Nabi Muhammad SAW membebaskan budak seperti Bilal bin Rabah, menolak praktik penindasan ekonomi, dan menegakkan hak-hak perempuan. Nabi juga menegaskan tentang keadilan sosial lewat hadist berikut:
“Ada tiga golongan manusia yang aku adalah musuhnya pada hari Kiamat nanti: (1) seorang berjanji dengan menyebut nama-Ku lalu dia melanggar janji, (2) seorang yang menjual orang yang merdeka lalu dia menikmati hasil penjualannya tersebut (3) seorang yang mempekerjakan orang lain setelah orang tersebut bekerja dengan baik upahnya tidak dibayarkan.” (HR Bukhari)
Dengan ini, agama Islam sejak awal sudah memberikan contoh sebagai agama yang membebaskan, menolak perbudakan, melawan ketidakadilan, memperjuangkan martabat manusia, dan menjadi motor perubahan sosial.
Pada dasarnya, agama memiliki dua fungsi yang tidak dapat dipisahkan, yakni penenang dan pembebas. Sebagai penenang, ia memberi harapan di tengah segala bentuk tekanan dan kesulitan. Agama sebagai pembebas secara progresif mendorong perlawanan terhadap ketidakadilan.
Meneladani Nabi Muhammad berarti sama dengan menghidupkan kembali kedua fungsi ini. Kanjeng nabi bukan hanya guru spiritual yang mengajarkan doa dan ibadah, tetapi juga pemimpin sosial yang berani melawan ketimpangan struktur sosial.
Dari Ritual ke Aksi Sosial: Peran Generasi Muda
Sebagai negara yang dikenal religius, agama di Indonesia tampak cenderung menekankan aspek-aspek ritual daripada praktik sosial. Banyak ceramah memberi aksentuasi kesabaran dalam menghadapi ujian hidup, tapi jarang menyentuh isu-isu struktural – yang sebenarnya dekat dengan hidup saban hari – seperti ketimpangan ekonomi, eksploitasi buruh, atau perampasan lahan petani. Akibatnya, bilamana hal ini terjadi berulang kali, agama lantas hadir hanya sebagai pelipur lara, yang datang mengelu-elus pundak saat capek melanda, bukan agama sebagai pembebas(an) secara progresif-revolusioner.
Padahal, sejarah Islam telah membuktikan bahwa agama dapat menjadi bahan bakar perubahan. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, ada baitul mal untuk menjadi wadah dalam mengelola harta kekayaan negara dengan adil. Umar bin Khattab bahkan sering menegur pejabatnya yang hidup mewah di atas penderitaan rakyat.
Dalam sejarah Indonesia, agama juga menjadi energi perlawanan. Pangeran Diponegoro mengobarkan jihad melawan kolonialisme berdasar keyakinan religius, sementara KH. Hasyim Asy’ari melalui resolusi jihad juga berhasil memobilisasi umat Islam untuk melawan penjajah. Melihat dua peristiwa penting di atas, agama bukan hanya menjadi obat penenang, tetapi pembangkit semangat perjuangan.
Baca juga: Islam Transnasional: Kelebihan Dalil, Kekurangan Nalar
Oleh karenanya, hari ini tilikan ulang oleh generasi muda amat penting. Anak muda tidak cukup hanya mewarisi tradisi atau saleh secara ritual, melainkan pula harus menggali dimensi lain dari agama. Belajar agama bukan mentok pada tata cara beribadah, tetapi lanjut dengan mengimplementasikan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan di sekitar.
Generasi muda dapat menerapkan nilai keadilan dalam memperjuangkan akses pendidikan yang merata, membela keberlangsungan lingkungan, berpihak kepada yang lemah, dan lain sebagainya. Generasi yang mampu memaknai agama secara utuh akan mampu menciptakan perubahan sosial.
Agama memang harus menenangkan hati, tapi tak mesti berhenti di situ. Hadirnya agama selaiknya menggerakkan diri untuk memperjuangkan keadilan. Jika dua fungsi ini saling beriringan, agama insyaallah benar-benar relevan sebagai salah satu pendorong kemajuan bangsa.
Secara garis besar, fungsi agama dalam kehidupan masyarakat bawah sering dipahami hanya sebagai penenang. Ia memberi kekuatan batin yang membuat orang mampu bertahan di tengah segala keterbatasan. Sejarah Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan bahwa agama sebagai kekuatan pembebas yang melawan penindasan, menegakkan keadilan, dan mengangkat martabat (umat) manusia.
Dalam sejarah Indonesia, sudah jelas bahwa agama dapat menjadi motor bagi gerakan pembebasan. Terbukti lewat perlawanan Diponegoro dan resolusi jihad. Tujuan agama seperti ini harus terus ditonjolkan, bukan berhenti pasrah menerima keadaan dan menganggap segala-galanya adalah takdir.
Menarik wacana ini ke dalam konteks Indonesia kiwari, seperti masalah kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial, sudah sewajarnya agama seharusnya hadir bukan hanya menenangkan, tetapi juga membebaskan. Dengan ini, agama tidak akan menjadi candu yang mengabur-hentikan langkah, melainkan obor yang menerangi jalan menuju struktur yang lebih adil dan inklusif.






