Paham Moralitas Beragama

Perubahan sosial yang terjadi pasca pandemi Covid-19 memberikan pengaruh pada segala bidang kehidupan. Berbagai masalah muncul di negeri yang menjunjung asas demokrasi seperti Indonesia ini. Banyak para pejabat negara yang diberi amanah rakyat malah mengabaikannya dengan mudah. Polemik demi polemik penuh intrik terus bermunculan menambah situasi hidup semakin sulit, rumit dan pelik.

Persoalan sosial yang kita lihat sekarang bisa jadi terletak pada kegagalan manusia memahami moralitas. Orang yang mengabaikan pelajaran moral pasti mereka termasuk manusia yang serakah dan tidak memahami pelajaran agama dengan baik.

Padahal pada 1966, pernah terbit buku berjudul Pokok-Pokok Adjaran Islam. Buku tersebut memiliki pengaruh kuat sebagai sumber bacaan pembelajaran moral umat Islam di masa itu. Buku yang ditulis oleh M. Abdul-Alim Shiddiqui diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Hashem.

Tahun 1960-an menjadi masa kebangkitan perbukuan Islam sebagai basis gerakan sosial. Islamisasi lewat jalur literasi keaksaraan ini juga didukung kuat oleh Soekarno untuk menerjemahkan buku-buku Islam dari penjuru dunia. Kita masih mengingat buku Dunia Baru Islam gubahan L. Stoddard. Soekarno meminta menerjemahkan buku tersebut supaya terbaca di seluruh kalangan masyarakat Indonesia.

Keberhasilan Soekarno menerjemahkan karya L. Stoddard memicu semangat para cendikiawan muslim untuk menerjemahkan buku-buku keislaman yang lain. Sebab di masa itu buku terjemahan dari Timur Tengah maupun Barat cukup variatif.

Baca juga: Kontekstualisasi Tafsir Al-Qur’an

Seperti buku M. Abdul-Alim Shiddiqui ini, misalnya, memuat sejarah penting tentang pelajaran moral beragama. Sekian ribu buku agama yang beredar, saya coba mencermati bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dakwah dari berbagai edisi yang terbit tahun 60-an. Tulisan Abdul Alim ini tidak serta-merta menggunakan bahasa normatif atau teks-teks arab, melainkan menafsirkan teks-teks agama menjadi liris nan puitis.

Abdul Alim menulis, “Panorama langit dan bumi jang kita saksikan disekeliling kita mengandung kesaksian bahwa bumi dan alam ini adalah tjiptaan jang Maha Pentjipta. Adanja aturan dan rentjana dalam alam semesta jang diadjarkan oleh ilmu pengetahuan modern kepada kita membawa kita kepada kepertjajaan akan adanja Kuasa Jang Maha Tinggi dan Jang Maha Tahu, jang mengatur rentjana jang rumit tetapi teratur ini. Suatu Zat Tertinggi jang mengadakannja dan melengkapinja dengan segala jang diperlukan untuk kehidupan dan kelangsungan hidup….dalam istilah Al-Qur’an disebut Rabbulaalamiin (hlm.5).”

Pada dasarnya Abdul Alim menyampaikan pelajaran hidup di dunia harus berpegang teguh pada aturan agama. Peraturan di sini adalah upaya untuk menyelaraskan perilaku umat manusia terkait moral agar tetap terjaga dari akhlak tercela.

Sebagai pendakwah, Abdul Alim memilih untuk memberikan pelajaran awal dengan menafsirkan kembali apa itu rukun Islam dan rukun iman. Pelajaran dasar agama ini jika tidak diajarkan secara mendalam dapat mempengaruhi pemahaman agama seseorang menjadi keruh dan hambar. Sederhananya adalah jika terjadi perbedaan pandangan keagamaan tidak langsung saling menyalahkan dan mengucapkan tuduhan sesat pada kelompok tertentu.

Paham moral tidak sekadar memahami diri sendiri tetapi juga perasaan orang lain. Perasaan yang mengalir kepada sesama manusia atas dasar kemanusiaan adalah salah satu dari dasar-dasar ajaran Islam.

Abdul Alim justru tidak seperti itu. Sebaliknya, ia menganjurkan umat meredam hawa nafsu yang muncul seperti marah, resah, dan dilema akibat perbedaan dalam keberagama(a)n. Umat Islam perlu memikirkan esensi hidup, tujuan dan kemanfaatan diri untuk sesama manusia. Kesadaran seperti ini terlihat dari penjelasan Abdul Alim ketika menyampaikan adanya kehidupan absolut setelah menempuh perjalanan dunia.

Baca juga: Kiai Sholeh Darat: Ulama Intelektual Penyebar Islam di Jawa

Perjalanan dunia mengawali pembekalan terutama berkaitan membangun moral beragama. “Satu perbedaan besar antara Islam dan ideologi₂ modern ialah bahwa Islam mendasarkan seluruh adjaran₂nja pada dasar moral dan memberikan tekanan penuh pada penempaan moral individu. Nilai₂ moral jang mutlak seperti kebenaran, keadilan, merupakan djantung kehidupannja. Kepentingan₂ individuil dan masjarakat berpusat pada satu titik jang sama (hlm.17).”

Paham moral tidak sekadar memahami diri sendiri tetapi juga perasaan orang lain. Perasaan yang mengalir kepada sesama manusia atas dasar kemanusiaan adalah salah satu dari dasar-dasar ajaran Islam. Konsepsi seperti ini tidak hanya berlaku pada sesama manusia tapi juga berlaku untuk kesetaraan gender. Islam hadir untuk mengubah tradisi perbudakan serta melindungi hak-hak perempuan.

Sebab banyak sekali bentuk diskriminatif atas relasi-kuasa tubuh manusia menyebabkan kekacauan serta penderitaan. Kehadiran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad telah menentukan arah gerakan sosial secara kolektif. Perubahan demi perubahan terjadi untuk menyelamatkan dan memperbaiki moral umat manusia.

Pandangan seperti inilah yang kurang lebih ingin disampaikan oleh Abdul Alim. Ia menulis kitab tersebut dan diterjemahkan oleh penerbit Anoa; Surabaya dengan kurang lebih 20 halaman. Namun substansi yang disampaikan tentang pelajaran moral begitu terasa, bahwa harta dan tahta bukanlah segala-galanya. Paham moral yang mampu memahami perasaan antar sesama manusia adalah sebenar-benarnya modal utama untuk mendapatkan sumber kebahagiaan.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here