Seni rupa terkadang tak memiliki keakraban dengan agama. Pergolakan antara seni agama  terkadang berujung konfik hingga melahirkan perdebatan keimanan dalam keberagamaan. Perdebatan tersebut seperti yang dinarasikan oleh Chaim Potok dalam novel berjudul Namaku Asher Lev.

Tokoh Asher dalam novel tersebut memiliki bakat melukis sejak umur 7 tahun. Sejak kecil lukisannya pun beraneka ragam, seperti pohon, taman, dan jalan raya dekat rumahnya.

Aryeh seorang ayah Asher Lev, bekerja sebagai pemuka agama Yahudi yang di segani. Ia  ditugaskan oleh seorang Rabi sebagai pendakwah agama Yahudi hasidik ortodoks. Sebagai seorang pendakwah,  ia ditugaskan ke berbagai wilayah hingga ke Eropa untuk menyebarkan agama. Aryeh sering meninggalkan keluarga.

Baca juga: Pengalaman Intelektual: Dialektika dan Pembaharuan Islam

Waktu pun terlalu sedikit untuk berkumpul memanjakan kasih terhadap anak dan istrinya. Kesibukan Aryeh membuat perasaan batin dan psikologis Asher begitu lemah lantaran kurangnya perhatian dari orang tuanya.

Kesunyian

Kesunyian serta kesendirian yang dirasakan Asher, ia lampiaskan pada hobinya yaitu melukis. Tatkala menjelang dewasa,  bakat Asher  tak memperoleh restu dari orang tua. Kata Aryeh, melukis merupakan perbuatan yang bertentangan peraturan agama Yahudi.

Melukis mampu membuat seseorang bid’ah, kafir, syirik lantaran melanggar kitab suci agama Yahudi. Di dalam peraturan agama Yahudi, melukis suatu perbuatan yang sia-sia, yang mampu melawan perintah yang sudah di tetapkan Tuhan.

Namun Asher mengartikan seni tidaklah seperti ayahnya yang begitu konservatif. Asher menganggap seni adalah sebuah Tradisi. Tradisi yang melahirkan keindahan serta memahami perasaan yang dialaminya. Cara pandang menafsirkan arti seni antara Asher dan ayahnya menjadi perdebatan dan konflik keluarga. Perdebatan itu pula yang memutuskan Asher untuk menjadi seniman dari pada memilih sebagai pendakwah.

Pemilihan Asher sebagai pelukis membawanya pergi ke Perancis untuk melihat karya-karya seni termasyhur. Ia ingin bertemu karya Picasso, seniman kondang pada masanya sekaligus sebagai pujaannya. Namun sesama pelukis, ia tak mau kalah untuk menciptakan  karya yang melebihi seniman-seniman terdahulu. Asher gigih demi tekadnya yang telah merelakan meninggalkan agama dan keluarga.

Baca juga: Potret Pendidikan Moderasi di Sekolah

Seni lukis menuai konflik tatkala Asher telah melukis para perempuan bertelanjang. Lukisan itu menunjukan maha karya teragung oleh Asher Lev. Nilai estetika yang terkandung dalam lukisan begitu tampak hidup melalui rupa dan warna. Ia memaknainya perasaan yang  diungkapkan dalam bentuk-bentuk yang artistik (halaman. 356).

Perlawanan

Asher juga melukiskan ketimpangan kesedihan yang dirasakan dalam keluargannya. Kemarahan atau bahkan kesedihannya pun ia lampiaskan dengan melukiskan penyaliban yang terjadi oleh ibunya sendiri. Asher dan Aryeh tergambar jelas melihat lara derita yang dialami ibunya. 

Lukisan itu membuat perasaan Asher yang merasa sendiri menjadi merasa ditemani. Namun dengan tak disangka, lukisan yang semula hanya dipajang di sudut kamar sebagai teman, malah dipublikasikan secara massal oleh Anna Schaeffer lewat pameran besar Times. Pameran itu rupanya turut dihadiri oleh orang tua Asher.

Sementara itu, mereka terkejut, bingung, taktala menjumpai lukisan keluarganya dengan adegan penyaliban dan ratapan penderitaan. Orang tuannya pun sedih, menangis, hingga pergi meninggalkan Asher. Meski Asher telah menjadi seniman besar, ia tak mampu mengembalikan harapan dan impiannya untuk bersama dalam menyatukan seni dan agama.

Bagikan
Editor Damarku.id & Pengacara LBH MHH Aisyi'yah Jawa Tengah. Alumni Akademi Mubadalah 2025.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here