Saatnya Hijrah: Dari Konflik Menuju Dunia yang Damai
Ilustrasi dari Kompas.id

Pada 06 Mei 2020 lalu, ceramah Noorhaidi Hassan (Guru Besar Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta) tentang hijrah viral di media sosial. Ceramah singkat secara virtual tersebut memuat tema perubahan sosial di kalangan kaum muda muslim perkotaan. Pada mulanya ceramah rutinan ramadan di masjid Mardliyyah UGM dipublikasi akun Youtobe UGM Channel.

Namun, publikasi dari ceramah itu menuai polemik akibat kritik Noorhaidi terhadap perilaku kaum muda muslim perkotaan dalam memaknai hijrah. Sebab pada dasarnya, Noorhaidi menilai bahwa esensi hijrah bagi kalangan kaum muda muslim perkotaan selalu dimaknai secara politis dan tekstualis.

Maraknya fenomena hijrah yang kini sering terjadi pada kelas menengah perkotaan, memperjelas bahwa kata hijrah memang mewakili perubahan perilaku keagamaan, gaya hidup, dan komoditas bisnis berbasis agama. Pemaknaan hijrah seperti ini merupakan tren mutakhir kaum muda muslim perkotaan dalam menyebarkan dakwah Islam secara eksklusif. Rujukan makna tersebut terkesan absurd jika tidak disandarkan pada kamus-kamus sebagai kiblat pengetahuan.

Jika kamus dijadikan pedoman, kita sebenarnya dapat memahami arti hijrah sesuai kaidah bahasa Indonesia. Sebab arti hijrah dalam kamus lebih menunjukkan perpindahan tempat ketimbang perubahan perilaku keagamaan.

Pengetahuan Kamus

Misalnya, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI) susunan W.J.S Poerwadarminta (1976) mengartikan hijrah tidak lepas dari sejarah perpindahan dakwah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Sejarah hijrah dimulai pada tahun 662 Masehi. Nabi memutuskan hijrah ke Madinah untuk menyebarkan ajaran agama Islam.

Baca juga: Zakat, Stabilitas Ekonomi dan Kohesi Sosial

Sebab situasi masyarakat Mekkah yang tidak mendukung untuk berdakwah, membuat Nabi Muhammad memutuskan meninggalkan Mekkah dan membangun peradaban Islam di Madinah. Pengertian serupa juga termuat dalam kamus Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia (2009). Kata hijrah berarti “memindahkan, menghindarkan, mengungsikan, menyingkir, dan menyelamatkan diri.”

Arti hijrah dalam kamus masih konsisten. Kata hijrah juga termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang di susun oleh Tim Pusat Bahasa cetakan Balai Pustaka (2002). Hijrah diartikan perpindahan Nabi Muhammad bersama sebagian pengikutnya dari Mekkah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dari tekanan kaum kafir Quraisy.

Maraknya fenomena hijrah yang kini sering terjadi pada kelas menengah perkotaan, memperjelas bahwa kata hijrah memang mewakili perubahan perilaku keagamaan, gaya hidup, dan komoditas bisnis berbasis agama

Ada pun penjelasan arti yang lain yaitu berpindah atau menyingkir sementara waktu dari satu tempat ke tempat yang lebih baik. Penjelasan dari kamus ke kamus masih sulit mengidentifikasi sejak kapan kata hijrah dimaknai sebagai perubahan perilaku keagamaan di Indonesia.

Namun, pada tahun 1978-an, asrip majalah Tempo memuat artikel berjudul “Islam Naik, Perlahan-Lahan.” Artikel telah disadur ulang untuk menampilkan awal mula proses perubahan perilaku keagamaan yang banyak terjadi di perkotaan. Majalah Tempo mengisahkan kembali awal mula masyarakat perkotaan tertarik mendalami ilmu agama (Islam).

Masyarakat kelas menengah perkotaan mengawali langkah perubahan perilaku keagamaan secara kasual. Mereka berbondong-bondong ke masjid mengikuti pengajian rutin sekaligus membuat kajian jama’ah tablig di rumah. Aktivitas itu kontras dengan kehidupan mereka sebelumnya yang jauh dari nilai-nilai agama.

Simbol Identitas

Perilaku hijrah sering kali menampilkan perubahan secara visual terhadap diri seseorang. Pada satu dekade terakhir ini, kebiasaan perubahan perilaku keagamaan banyak diikuti anak-anak muda dan para artis ibukota. Perubahan perilaku keagamaan ditandai dengan kesalehan yang ditampilkan secara simbolik. Seseorang yang berhijrah akan menampilkan fisik; berjenggot dan bercelana di atas lutut untuk pria, untuk perempuan ditandai dengan berjilbab besar bahkan bercadar.

Fenomena ini juga melahirkan kebutuhan baru seperti hadirnya pendakwah baru, model-model cantik (artis) yang menggunakan busana muslimah, dan merebaknya produk halal yang perlu dipromosikan dari publik figur. Perubahan ini terjadi begitu cepat, dari yang kasual menjadi ketat dalam mengamalkan hukum syariah.

Majalah Tempo edisi 27 Mei-2 Juni 2019 memuat liputan khusus artis-artis ramai berhijrah. Secara umum, banyaknya publik figur berhijrah disebabkan meningkatnya konservatisme agama. Publik figur yang dulunya berprofesi sebagai musisi dan artis memilih meninggalkan profesinya untuk mempelajari agama secara mendalam.

Seperti yang dialami artis kondang; Donny Supriyadi, Saktia Ari Sena berubah nama (Salman Al Jugjawy), Chaca Frederica, Yuki Martawidjaya, dan Dewi Sandra. Setelah berhijrah, mereka mengalami perubahan secara komunal. Terutama pemahaman mereka terhadap agama yang harus bersumber hukum pada teks Al-Qur’an dan hadis. Jika pemahaman agama diartikan seperti ini, Islam menjadi agama yang amat kaku dan tidak lentur dalam menghadapi perubahan zaman.

Peristiwa ini memperjelas bahwa maraknya fenomena hijrah di kalangan kaum muda muslim perkotaan lebih mengajarkan paham Islam eksklusif; mempertahankan doktrin yang murni. Belajar agama jika tidak disesuaikan situasi dan kondisi dapat membuat kesalehan seseorang kebablasan.

Kesalehan Transedental

Noorhaidi Hassan dalam buku Laskar Jihad (2008) menyebut gerakan Salafi yang tumbuh pasca lengsernya Orde baru berhasil mempengarui pemikiran kaum muda di perkotaan. Sejak masa Reformasi gerakan Salafi berkembang di kampus dengan mengedukasi pendidikan melalui siraman dakwah.

Baca juga: Kisah Sastra Arab pada Masa Modern

Doktrin utamanya adalah permurnian tauhid serta melalukan praktik keagamaan yang ketat. Mereka juga menolak praktik ibadah yang lain jika tidak diajarkan Nabi Muhammad. Konsep dasar inilah yang kaum Salafi sebarkan terhadap seseorang yang hendak berhijrah.

Noorhaidi menyebut pemahaman hijrah doktrin kaum Salafi disebut Al-wala wal bara, yang berarti mencintai yang sepaham, namun memusuhi yang tidak sepaham. Doktrin ini menunjukkan perbedaan paham keagamaan dapat menutup ruang saling menghargai, menghormati, menyayangi sesama umat Islam.

Hijrah yang dimaknai perubahan perilaku keagamaan ternyata belum sampai pada tataran pada tindakan toleransi. Perubahan itu sangat menonjol dari segi penampilan visual saja, belum pada pengertian hijrah spiritual transedental.

Sejarah hijrah yang pernah diajarkan Nabi Muhammad tidak diresapi dengan akal dan tindakan. Hijrah yang semestinya dapat meningkatkan spritual seseorang kepada Tuhan dan saling mencintai pada sesama umat manusia berubah menjadi praktis dan rigid.

Perubahan perilaku dari buruk menjadi baik bukan semata-mata untuk menebar permusuhan, tapi membangkitkan rasa iman kepada Tuhan dengan menyebarkan dakwah kebaikan pada sesama insan manusia.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here