tradisi intelektual Islam

Bagi sebagian kaum sarjana dan intelektual, diskursus mengenai dinamika tradisi intelektual Islam dalam babakan sejarah merupakan tema yang masih tetap menarik untuk dikaji-ulang. Selain adanya polemik, khususnya ketika berbicara fragmentasi periode dinamika tradisi intelektual Islam serta masih banyak sisi “buram” sejarah yang perlu dibuat “terang” ke ruang publik.

Keburaman tersebut berupa fragmentasi periode dinamika tradisi intelektual Islam. Diakui atau tidak, memang sepertinya agak buram. Dibanding periodisasi tradisi intelektual di dunia Barat (Eropa), tiap babakan sejarahnya sangat tampak jelas.

Meski demikian, bukan berarti kaum sarjana dan intelektual Islam berdiam diri terkait hal ini. Misalnya, dua buku Harun Nasution berjudul, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975) dan, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1985) jilid I, sedikit banyak menyinggung babakan tradisi intelektual Islam.

Dua buku Harun Nasution ini, secara garis besar telah menggambarkan fragmentasi periode tradisi intelektual Islam menjadi tiga periode besar: periode klasik (650-1250 M) sebagai era kemajuan dan keemasan dunia Islam. Dan, periode pertengahan (1250-1800 M) sebagai era kemunduran atau kegelapan dunia Islam, serta periode modern (1800-sekarang) sebagai era kebangkitan dunia Islam.

Terlepas dari itu, sebenarnya tradisi intelektual Islam yang telah dibangun di era klasik mampu menentukan bentuk pemikiran Islam, yang bisa dikatakan sebagai era keemasan tradisi intelektual Islam yang dimulai sejak era khilafah Harun al-Rasyid (766-809) dan puncaknya di era khilafah al-Makmun (w.218 H) dengan Bait al-Hikmah di Bagdad. Dan juga, telah menjadi pijakan bagi bangunan keilmuan terkait periodisasi sejarah intelektualisme dalam Islam.

Di sekian literatur, umpamanya, era klasik Islam sering digambarkan dengan berbagai warna-warni bidang keilmuan dari fiqih, filsafat dan filosofnya, tasawuf dan sufinya, hingga bidang seperti kedokteran, kimia, biografi, astronomi, geometri, dsb. Semua lapangan penelitian ini mendapat dukungan sah dari sang khilafah.

Baca juga: Relasi Islam di Panggung Sejarah

Sementara itu, tradisi intelektual Islam juga didukung dengan transmisi penerjemahan buku-buku dari ragam bahasa seperti, India, Yunani, Persia, Latin, Suryani, dan Ibrani ke dalam bahasa Arab. Tentu saja, dengan program penerjemahan ini, tradisi intelektual Islam nyaris seluruhnya mengalami perkembangan dan kemajuan melampaui masanya.

Bila era klasik digambarkan dengan perkembangan dan kemajuan tradisi intelektual Islam—bahkan dibilang era keemasan ilmu pengetahuan Islam—maka di era pertengahan dapat disebut sebaliknya. Era pertengahan acap dianggap sebagai abad kegelapan yang dinarasikan sebagai masa suram, dan tradisi intelektual Islam lebih bersifat konservatif. Pemikiran dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi di masa ini menurun drastis, pemikiran keagamaan pun disebut-sebut sebagai masa taklid.

Lalu pertanyaan yang lantas muncul adalah apakah abad kegelapan yang terjadi era pertengahan Islam sama dengan zaman kegelapan yang pernah dialami kaum intelektual di Eropa? Apakah pada abad kegelapan Islam benar-benar tak ada aktivitas intelektual? Apakah abad kegelapan Islam berlangsung di semua aspek ilmu pengetahuan?

Syafiq A. Mughni melalui karya barunya, Dinamika Intelektual Islam pada Abad Kegelapan (2023) membentangkan jawaban atas pertanyaan terkait aktivitas tradisi intelektual umat Islam dengan pelbagai aspek; politik, filsafat, hukum, kalam, tasawuf, tarekat, dan sastra.

Sebenarnya, abad kegelapan dalam tradisi intelektual Islam hampir bersamaan dengan serangan Mongol yang dipimpin Hulagu, cucu Jengis Khan, pada tahun 656 H atau 1258 M yang menyasar Bait al-Hikmah. Sebagai hasilnya, pusat pengembangan intelektual Islam di Bagdad ini pun mengalami kehancuran total.

Tradisi intelektual Islam yang sebelumnya berkembang pesat ditandai semangat kritik, polemic. Ini merupa elaborasi tradisi intelektual yang telah berkembang di era sebelumnya. Meski demikian, banyak para sarjana dan kaum intelektual melahirkan karya-karya baru yang tak kalah penting—walau tidak semenonjol di era sebelumnya. Lain waktu, tradisi intelektual Islam berkembang pesat di bidang semacam sufisme, tarekat, sastra, seni, dan arsitektur.

Baca juga: Agama, Nabi Muhammad, dan Politik Identitas

Sebut saja, pada abad kegelapan tasawuf telah berkembang menjadi atau dilembagakan dalam bentuk tarekat seperti, tarekat safawiyah, dan tarekat malamatiyah, serta tarekat qalandariyah.

Tarekat terakhir ini dalam amalannya tidak hanya berdzikir melainkan juga menggunakan obat-obatan secara sengaja untuk menimbulkan efek psikologis. Sementara dalam bidang sastra dan seni muncul karya-karya dari sastrawan seperti Rasyidudin yang banyak memberi ilustrasi karya sastra epik Sah-Name dan Kalilah wa Dimmah.       

Dan, kota Transsoxiana menjadi pusat arsitektur, filsafat Islam dan kemajuan ilmu pengetahuan serta mendorong munculnya varian baru peradaban istana Iran-Islam, monumen-monumen besar dibangun di Samarkand, Bukhara, Herat, dan Balk, termasuk kompleks makam sah-i zindah di Samarkand dan Mausoleum timur, Gur-eAmir yang dikenal hingga kini karena dekorasi tegel Turki berwarna biru dan kubah gorgoriusnya (halaman. 83).

Pun muncul tokoh-tokoh intelektual Islam menonjol yang menguasai bidang-bidang secara konvensional disebut bidang agama, seperti fiqih, kalam, dan filsafat. Ada pula para ilmuwan di bidang kedokteran, astronomi, dan sejenisnya.

Di bidang ulama ada Abdulla bin Umar al-Baidhawi (658-685 H) dengan Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil. Sebuah karya tafsir al-Quran berdasarkan tafsir al-Kasfay karya az-Zamakhsyari, dan Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M), serta Jalaluddin as-Syuti (849-911 H/1445-1505 M) karyanya, ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’tsur, 6 jilid dan tafsir al-Jalalain, serta banyak tokoh lainnya (halaman. 99-110).

Di bidang ilmuwan ada tokoh seperti, Nashiruddin ath-Thusi (597-672 H/1201-1274 M) karyanya al-Isyarat wa at-Tanbihat dan Quthbuddin ash-Shirazi (634-710 H/1236-1311 M), karyanya Nihayat al-Idrak fi Dirayat al-Aflak dan at-Tuhfah as-Sahiyah fi al-Hai’ah, serta tokoh-tokoh lainya.

Di bidang tasawuf dan sufi ada tokoh seperti, Muhammad bi Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi (717-791 H/1317-1389 M) pendiri Tarekat Naqsyabandiyah, dan Jalaluddin Rumi (604-690 H/1290-1291 M), seorang sufi, penyair ulung dan filsuf dengan karya utamanya al-Matsnawi, serta ada Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli (767-802 H/1365-1366 M) di antara karyanya, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakir wa al-Awail (halaman. 124-138).

Pada akhirnya, tokoh-tokoh intelektual Islam lahir dan turut serta memajukan bidang agama maupun sains. Sedang perihal kemunduran tradisi intelektual Islam seperti narasi yang digaungkan kaum orientalis, yakni tertutupnya pintu ijtihad yang berlangsung selama kurang lebih 1000 tahun, dan serangan imam al-Ghazali atas filsafat, lewat karyanya, Tahafut al-Falasifah, sebagai penyebab kemunduran hingga kematian Ibnu Rusyd–yang selama ini dianggap sebagai simbol dari rasionalisme Islam—banyak catat secara historis-faktual dan tak bisa dipertanggung-jawabkan secara akademik. Gitu!

Judul Buku      : Dinamika Intelektual Islam pada Abad Kegelapan (2023)

Penulis             : Syafiq A. Mughni

Penerbit          : IRCiSoD

Cetakan           : Juni 2023

Tebal               : 200 Halaman

ISBN               : 978-623-8108-35-0

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here