Ngaji Sore
Ilustrasi dari kompasiana.com

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat kompleks dewasa ini punya dampak beragam. Dampak tersebut bukan hanya dirasakan oleh pihak tertentu saja, tetapi juga semua kalangan masyarakat dari deru modernisasi ini. 

Sebagai makhluk sosial, kita memang tidak salah untuk selalu mengikuti tuntutan perkembangan zaman. Dari yang dulu orang-orang menggunakan telepon genggam untuk berkomunikasi via suara saja, sekarang sudah bisa untuk video secara real time. Perkembangan ini tentu akan memberikan sebuah pandangan baru, yakni jika kita tidak menyesuaikan dengan arah zaman, niscaya kita semakin tertinggal-tergerus.

Salah satu implikasi yang sangat riil adalah kemunduran madrasah atau ngaji sore untuk anak-anak. Dulu, ketika teknologi belum begitu pesat seperti sekarang, madrasah atau ngaji sore selalu diramaikan oleh kehadiran anak-anak, mulai dari TK, SD, SMP, dan seterusnya. 

Akan tetapi, saat teknologi sudah sangat berkembang pesat, madrasah tempat ngaji tersebut menjadi sepi bahkan beberapa sampai tak ada lagi. Walaupun ngaji sore di desa-desa sudah sangat jarang ditemukan, tetapi pengajaran ilmu agama itu masih juga ada, walaupun hanya ada di instansi pendidikan formal. 

Baca juga: Kesurupan Tuhan dan Bahaya Merasa Paling Benar

Beberapa rekan diskusi di dunia pendidikan-pengajaran Islam yang mengajar di desanya bercerita bahwa anak-anak sekarang sudah jarang menaruh minat pada ngaji di madrasah sore hari, bahkan mereka memilih nyore dari pada untuk menuntut ilmu agama. 

Entah bagaimana fenomena ini bisa terjadi, yang jelas zaman sekarang sudah semakin maju, modern, seharusnya kita bisa terus melestarikan budaya ngaji sore. Hal ini agar masyarakat tidak memang memandang sebelah mata adanya ngaji sore – yang dulu sangat diminati oleh anak-anak pada masanya. Mereka kadang lanjut dengan bermain dan tidur di surau. 

Baru-baru ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan kebijakan baru terkait dengan proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sekolah yang akan diberlakukan 6 hari lagi. Untuk kasus sekolah ini, alhamdulillah sudah bisa mengurangi beban anak-anak yang mana kebijakan sebelumnya harus dipadatkan lima hari. Kebijakan ini sangat berimplikasi pada waktu ngaji anak-anak. 

Baca juga: Menua bersama Ikan Lele

Jam belajar di sekolah dari pagi sampai habis ‘ashar atau jam lima membuat anak- anak yang merasa capek dan mustahil bisa mengikuti ngaji sore atau madrasah diniyyah. Hal ini tentu saja menjadi salah satu faktor mengapa anak di zaman sekarang susah untuk bisa fokus mengikuti ngaji sore, bahkan sangat malas. Realitas ini sudah sangat familiar. Barangkali tetangga, kerabat, atau saudara Anda mengalami hal yang sama dengan ini. 

Semoga dengan adanya problem di lapangan membuat kita kian sadar bahwa anak-anak kita semua juga perlu menimba ilmu pengetahuan agama, khususnya untuk bekal masa depan. Ketika kelak sistem ngaji sore ini bisa optimal, seperti dulu, saat anak-anak merasa senang untuk berjumpa dan belajar di surau atau madrasah dengan sama-sama seronoknya, niscaya mereka bisa menjadi sosok yang giat belajar dan religius. 

Sebenarnya, ada relasi antara anak-anak yang mengaji dengan kiai kampung yang mengelola-mengurus surau atau madrasah diniyyah yang mengajarnya. Mereka punya ikatan yang kuat, musabab rutin melakukan pengkajian bersama, seperti belajar membaca kitab suci maupun memaknai kitab kuning. Dengan intensitas ini, tak pelak jika kiai kampung menjadi tokoh dan pokok dalam penanaman nilai-nilai moralitas di kalangan anak-anak di desa. 

Pada akhirnya, ngaji bukan hanya sekedar transfer ilmu belaka, tetapi ngaji merupa proses spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan yakin untuk meneguhkan iman dalam hati, pikiran, serta perbuatan.[]

Bagikan
Mahasiswa UIN Surakarta dan Penulis Syi’ir Santri 2023

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here