
Awal bulan ramadan, beranda media sosial, terutama TikTok sering kali dihiasi dengan fyp video tentang perbedaan gaya dakwah dari penceramah ulama Indonesia yang memiliki ideologi beragam. Namun, yang menjadi sorotan saya bukan pengetahuan keislamannya, melainkan mengamati cara berdakwa dan gaya hidup dari masing-masing ulama.
Padahal dalam ajaran agama Islam sudah jelas, untuk mendengarkan apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan. Namun di Indonesia sepertinya tidak bisa menerapkan untaian tersebut. Pasalnya sering kali masyarakat Indonesia sebelum datang dalam sebuah pengajian akan melihat terlebih dahulu siapa yang diundang diacara tersebut.
Hal ini bisa dilihat dari ramainya jamaah Maiyah Cak Nun dan Habib Syech yang sering dihadiri oleh masyarakat penganut ormas Nahdlatul Ulama. Selain itu juga ada kajian ustaz Hanan Attaki yang memiliki jamaah dari kalangan anak muda.
Kehadiran ulama di panggung dakwah memberi semangat umat meskipun dari luar kota, dan meski acara berbayar ratusan ribu orang pun akan datang demi bisa bertemu langsung ulama yang diidolakan.
Baca juga: Kaligrafi Sebagai Seni Rohani dan Identitas Kesalehan
Namun jika yang menjadi penceramah adalah kiai kampung, jamaah pengajian tidak sebanyak ulama populer. Kita dapat mencermati seperti terdapat jurang perbedaan yang cukup dalam yang membuat kiai kampung kurang dihargai. Jika mau menelaah lebih dalam peran mereka dalam penyebaran agama Islam sebenarnya juga sangat besar, terutama di daerah masing-masing.
Popularitas Ulama
Popularitas ulama di Indonesia membuat kiai kampung dipandang sebelah mata. Ketidakpedulian masyarakat membikin corak keislaman di masing-masing daerah tidak pernah terlihat. Padahal keunikan dalam penyebaran ajaran agama Islam ini yang menjadi ciri khas Islam Indonesia sebagaimana Wali Sanga di bumi Jawa.
Selain itu popularitas ulama di Indonesia membuat hidup mereka dengan kemewahan. Dengan sekali undangan bisa mencapai puluhan juta, membuat mereka lebih mudah untuk membangun rumah mewah atau memiliki kendaraan mewah.
Seperti dalam unggahan berita viral rumah mewah ustaz Solmed senilai miliaran rupiah. Begitu juga unggahan TribunJualBeli Official yang menayangkan rumah mewah Gus Miftah (ulama Indonesia) yang juga senilai miliaran rupiah. Seorang ulama seharusnya menghindari kemewahan seperti yang disampaikan Al Ghazali.
Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumudin menyampaikan yang dimaksud menghindari kemewahan adalah kemewahan dalam hal makan, minum, pakaian, keindahan rumah dan tempat tinggal. Seorang ulama harus mendahulukan kesederhanaan.
Popularitas ulama di Indonesia membuat kiai kampung dipandang sebelah mata. Ketidakpedulian masyarakat membikin corak keislaman di masing-masing daerah tidak pernah terlihat
Kesederhanaan yang disampaikan Al-Ghazali justru dilakukan oleh kiai kampung, mereka meletakkan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan, memperhatikan kehidupan masyarakat dan bersikap egaliter.
Kesadaran untuk hidup dengan kesederhanaan ini perlu ditumbuhkan dalam diri ulama populer.
Sebab akan lebih baik jika menggunakan sebagian rezeki yang dimiliki untuk orang-orang yang membutuhkan. Pendirian pesantren bagus untuk menyebarkan agama Islam dengan pelbagai macam metode pengajaran mulai dari tradisional hingga modern, tetapi membantu mereka yang hidup dalam kemiskinan juga tak kalah penting untuk membuat hidup jauh lebih aman dan tenteram dalam berislam.
Ulama Panutan
Umat muslim di Indonesia juga perlu untuk memperhatikan ulama yang dipanuti. Jangan sampai popularitas seorang ulama membuat kita beragama Islam dengan arogan.
Melihat sanad keilmuan seorang ulama juga perlu dilakukan guna memastikan kita berislam sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Menghargai adanya perbedaan ajaran agama Islam di masing-masing golongan dan tidak menganggap golongannya paling benar sendiri.
Selain itu dalam memilih tempat belajar agama Islam juga penting untuk diperhatikan. Sebab masih banyak yang melakukan pemilihan berdasarkan popularitas semata. Mencari informasi tentang lembaga pendidikan jauh penting daripada menyesal kemudian hari, sebab sudah terjadi beberapa kasus di Islamic Boarding School tindak asusila dan pelecehan seksual yang dilakukan di instansi pendidikan Islam.
Lebih parahnya tindakan tak senonoh tersebut dilakukan oleh pengasuh lembaga pendidikan. Maka penting untuk melihat latar belakang pendiri dan perkembangan Lembaga untuk mengurangi hal yang tidak diinginkan terjadi. Meskipun setaraf pesantren pun harus dicari informasinya. Popularitas ulama di Indonesia juga sering kali digunakan untuk mendekati penguasa.
Baca juga: Hijab dan Kecantikan
Tujuannya sudah jelas untuk mendapatkan keuntungan. Mengembangkan lembaga pendidikan yang dimiliki dengan memberikan dukungan saat pencalonan dan mendapatkan posisi strategis setelah mendapatkan kekuasaan. Hal ini sudah lumrah terjadi di Indonesia meskipun sebagai seorang ulama seharusnya bisa bersikap lebih bijak sebelum bertindak.
Al-Ghazali kembali mengingatkan kepada para ulama dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.
Al-Ghazali mengatakan yang dimaksud dengan menjauhkan diri dari penguasa adalah tidak menjunjung penguasa selama masih ada jalan keluar untuk dapat menghindarinya. Bahkan hendaknya dapat memelihara diri jangan sampai membaur dengan mereka kendati mereka mengalah datang kepadanya.
Semoga dengan melihat ungkapan di atas para ulama di Indonesia memiliki kesadaran untuk mampu memelihara diri dan tidak tergoda dengan tawaran para penguasa untuk ikut serta dalam partisipasi pemenangan dengan imbalan harta maupun tahta.
Biarkan ulama fokus dengan tugasnya untuk membimbing umat dengan pemahaman keislaman yang ramah untuk semua golongan.
Dengan tidak adanya keikutsertaan ulama dalam perpolitikan di Indonesia tidak ada lagi “jual agama” untuk pemenangan pemimpin daerah sebagaimana terjadi beberapa tahun yang lalu.
Para ulama sudah seharusnya memikirkan bagaimana memperbaiki adab generasi muda hari ini yang sudah seperti tak mengenal agama. Buat kurikulum di masing-masing lembaga pendidikan yang dinaungi, dan kita lihat generasi muda Indonesia dengan adab dan akhlak yang baik sebagaimana seorang muslim yang paham dalam menjalankan ajaran agamanya.