
Sejak pelantikan presiden ke-8, muncul banyak kegelisahan yang menyelimuti perasaan masyarakat Indonesia. Berawal dari proses pemilihan yang buruk, akhirnya berdampak secara domino di berbagai sektor sendi kehidupan masyarakat sampai melahirkan utopia kesejahteraan.
Dari kenaikan pajak 12%, program Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga pemangkasan anggaran yang mengancam produktivitas pengembangan sumber daya manusia. Belum lagi, banyak isu korupsi mencuat ke publik tanpa upaya penyelesaian. Kasus suap di Mahkamah Agung, Pagar Laut, sampai korupsi mutakhir di Pertamina, kini beritanya lenyap ditelan bumi.
Kegelisahan masyarakat kian berdasar, disahkannya Revisi Undang-Undang (RUU) TNI baru-baru ini, membuat rakyat Indonesia semakin ragu dengan Pemerintahan Probowo-Gibran. Alih-alih menyongsong Indonesia Emas, kondisinya berbanding terbalik menjadi Indonesia Cemas, Indonesia Gelap Gulita dan Indonesia berada dipuncak kegelisahan. Dengan demikian, utopia kesejahteraan menjadi hal wajar.
Indonesia dikenal dengan “Zamrud Khatulistiwa”, negeri yang kaya akan sumber daya alam dan budaya. Di balik keindahan dan kekayaannya, rakyat Indonesia seolah ditakdirkan untuk menjadi rakyat paling sabar di dunia. Mereka menghadapi gejolak politik, korupsi yang merajalela, kemiskinan yang tak kunjung terentaskan, dan kebijakan yang tak memihak.
Nasib masyarakat seolah menjadi mainan bagi para pengambil kebijakan. Di awal, rakyat dijanjikan bualan-bualan politis, seolah nasib mereka berubah lebih baik setelah pemilu. Setelah terpilih, janji itu hilang diempas angin. Hal ini terus berulang, apa yang diucapkan saat kampanye, nyaris kurang dari 20% janjinya ditepati.
Jika dulu rakyat harus berhadapan dengan keserakahan kolonial. Usai merdeka, rakyat kembali menelan pil pihat, harus menghadapi keserakahan bangsanya sendiri tanpa memikirkan nasib dan hajat kelangsungan rakyatnya. Sehingga, utopia kesejahteraan semakin nyata dan wujudnya jauh dari pelupuk mata.
Kesenjangan Kesejahteraan
Sejak kemerdekaan tergemakan, kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia masih menjadi wacana dan hal utopis. Kemiskinan, ketidakadilan, kerusakan alam dan korupsi masih bercokol di negara yang konon kaya akan sumber daya.
Semasa kolonialisme, masyarakat bawah menjadi tumbal penindasan kerajaan dan kolonial. Kekayaan alam harus disetor pada orang-orang kolonial dan kelompok feodal. Rakyat tak diberi akses pendidikan, sehingga kebodohan menjadi akut. Belum lagi, upah dan upeti. Bertahun-tahun bekerja tetapi upah dimakan bangsa sendiri yang bekerja di administrasi kolonial.
Setelah merdeka, masyarakat dihadapkan pada penderitaan menjaga teritorial dari gencatan senjata agresi militer kedua, konflik horizontal sesama bangsa hingga menjadi partisipan pertahanan untuk melawan Malaysia dan Timor-Timor.
Pada masa Orde Baru, pembangunan ekonomi memang tumbuh, tetapi hanya dinikmati oleh segelintir elite. Sementara itu, rakyat kecil tetap hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan.
Jika dulu rakyat harus berhadapan dengan keserakahan kolonial. Usai merdeka, rakyat kembali menelan pil pihat, harus menghadapi keserakahan bangsanya sendiri tanpa memikirkan nasib dan hajat kelangsungan rakyatnya
Era Reformasi yang dimulai 1998 memberi harapan baru dengan janji demokratisasi dan pemberantasan korupsi. Namun, setelah lebih dua dekade, janji-janji itu masih jauh dari kenyataan. Belum ada perubahan signifikan.
Secara konseptual, kesejahteraan masyarakat mencakup pemenuhan kebutuhan dasar; sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan. Indonesia, dengan sumber daya alam melimpah, memiliki potensi besar mencapai hal ini. Konstitusi Indonesia pun menjaminnya, seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.
Namun, praktiknya, upaya mewujudkannya sering terhambat faktor struktural dan kultural. Meski mengalami pertumbuhan ekonomi dekade belakangan, manfaat tersebut tak selalu dirasakan lapisan masyarakat. Kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin, antara wilayah urban dan rural, serta antara Jawa dan luar Jawa, masih problematik.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan indeks Gini Indonesia, yang mengukur ketimpangan pendapatan, masih tinggi. Akses layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan masih belum merata. Di daerah-daerah terpencil, fasilitas kesehatan dan sekolah sering tak memadai, sementara tenaga medis dan guru berkualitas lebih memilih bekerja di daerah urban. Hal ini mencipta lingkaran setan: masyarakat di daerah tertinggal sulit meningkatkan taraf hidup.
Kemiskinan Struktural
Meskipun Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan ekonomi terbesar di dunia (G20), kemiskinan masih menjadi masalah serius. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 menunjukkan bahwa sekitar 26,36 juta orang (9,57% dari total populasi) hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini belum mencerminkan mereka yang berada di ambang kemiskinan atau hidup dalam ketidakpastian ekonomi.
Kesenjangan ekonomi juga semakin melebar. Laporan Oxfam (2022) menyebutkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai nearly 50% kekayaan nasional. Sementara itu, jutaan rakyat masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan. Kebijakan pemerintah yang sering kali tidak pro-rakyat kecil.
Baca juga: Kerusakan Lingkungan dan Jejak yang Tertinggal
Upaya mengentaskan kemiskinan sebenarnya terdapat banyak contoh yang bisa diadopsi dari negara-negara maju. Hanya saja, para pengambil kebijakan seringkali angkuh bahkan apatis terhadap keadaan bangsanya sendiri. Negara-negara seperti Singapura, Norwegia, Polandia dan negara-negara Nordic lainnya sudah memberikan modul dalam urusan public policy sebagai upaya mengentaskan kemiskinan.
Ternyata, Indonesia terlampau spektakuler dalam merancang kebijakan untuk menurunkan kemiskinan. Program MBG digembor-gemborkan sebagai solusi. Padahal, belajar dari negara-negara di atas, hal fundamental yang harus dilakukan adalah membangun pos-pos kebijakan struktrural seperti jaminan pendidikan, jaminan kesehatan dan jaminan lapangan pekerjaan.
Singapura pulih dengan cepat, bahkan menjadi negara paling maju di Asia Tenggara. Padahal, Singapura memiliki sumber daya alam yang minim karena luas wilayahnya yang kecil.. Keterbatasan itu membuat mereka berpikir keras keluar dari keterbatasannya. Strategi pembangunan sumber daya manusia menjadi prioritasnya. Pendidikan menjadi kesadaran kolektif di negara tersebut. Sehingga pemerintah Singapura berani menggelontorkan anggaran yang besar demi mencetak manusia yang unggul dan terampil.
Korupsi dan Kebijakan Serampangan
Korupsi di Indonesia telah menjadi epidemi. Data Transparency International menunjukkan Indonesia berada di peringkat menengah dalam Indeks Persepsi Korupsi. Kasus-kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi, anggota DPR, gubernur, bupati, hingga aparat keamanan terus muncul. Misalnya, kasus korupsi di Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melibatkan mantan Menteri Edhy Prabowo, atau kasus korupsi di tubuh Polri yang melibatkan jenderal-jenderal bintang tinggi.
Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melahirkan utopia kesejahteraan sekaligus merusak kepercayaan publik. Masyarakat semakin skeptis terhadap janji-janji reformasi. Dalam konteks ini, kita bisa merujuk pemikiran Tan Malaka dalam Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).
Tan Malaka menekankan logika dan rasionalitas dalam membangun negara. Korupsi, menurutnya, bentuk irasionalitas yang menghambat kemajuan bangsa. Tan Malaka akan melihat korupsi sebagai penyakit harus diobati dengan pendidikan dan kesadaran kolektif.
Baca juga: Mitos dan Keberpihakan Lingkungan (2)
Selain korupsi, kebijakan serampangan juga menjadi masalah fundamental. Banyak kebijakan pemerintah dibuat tanpa pertimbangan matang. Seperti kebijakan impor pangan yang membunuh petani lokal, atau kebijakan pembangunan(isme) yang mengabaikan dampak lingkungan dan sosial. Kebijakan-kebijakan ini seringkali dibuat untuk kepentingan elite, bukan rakyat.
Ketika berhadapan dengan kebijakan yang memeras rakyat, keputusan itu layaknya jalan tol: tanpa hambatan. Seperti, perluasan wewenang TNI, wajib pajak, dan pembebasan lahan.
Hal itu berbanding terbalik dengan kebijakan yang membatasi ruang gerak para politisi-oligarki. Keputusan yang diambil sangat alot. UU Perampasan Aset, misalnya, sampai sekarang hanya menjadi tumpukan kertas yang mungkin sudah usang.
Lalu, UU Adat, di mana kebijakan ini sangat dinanti-nanti masyarakat adat agar mempunyai payung hukum mempertahankan tanah leluhurnya. Kembali lagi, jika kebijakan soal memeras masyarakat akan cepat diketok palu.
Menjadi teringat tulisan Pramoedya Ananta Toer, dalam tetralogi Bumi Manusia, yang menggambarkan betapa kekuasaan korup menghancurkan kehidupan rakyat kecil. Melalui tokoh Minke, Pramoedya mengkritik sistem penindasan kolonial. Kritik ini ternyata masih relevan untuk melihat sistem kekuasaan di Indonesia kini. Pramoedya akan melihat kebijakan serampangan sebagai bentuk pengkhianatan cita-cita kemerdekaan.
Mencari Urat Malu
Liga Korupsi Indonesia menjadi gambaran rusaknya moral para pemimpin negeri. Belum selesai soal korupsi, pemerintah menyulut amarah kolektif rakyat. Dwi Fungsi TNI kembali mengemuka, dan hasilnya, demonstrasi massal di sekian kota menyeruak untuk menghentikan kesewenang-wenengan para wakil rakyat dan lembaga eksekutif. Mereka sadar akan utopia kesejahteraan dan menuntut janji-janji reformasi.
Kebijakan tanpa rasa bersalah itu, malah enteng ditanggapi, bahkan beberapa birokrat istana cenderung menyepelekan aspirasi masyarakat. RUU TNI, telah membangkit truma kolektif masyarakat.
Gambarannya, aparat keamanan, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru seringkali menjadi predator. Kasus-kasus kekerasan oleh polisi, penyalahgunaan wewenang oleh TNI, dan praktik suap di kepolisian telah merusak citra aparat keamanan. Masyarakat semakin tidak percaya pada institusi yang seharusnya menjadi penegak hukum.
Dalam konteks ini, pemikiran Soe Hok Gie, aktivis dan intelektual muda Indonesia, relevan untuk digaungkan kembali. Dalam catatan harian yang dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demonstran, Gie mengkritik keras praktik kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat. Gie percaya bahwa kekuasaan harus digunakan untuk melindungi rakyat, bukan untuk menindas. Kritik Gie terhadap Orde Baru masih relevan untuk melihat perilaku aparat keamanan saat ini.
Lalu, di mana urat malu para penyelenggara negara? Urat malu sepertinya telah hilang dari tubuh mereka. Mereka tidak lagi merasa malu ketika mencuri uang rakyat, membuat kebijakan yang benar-benar merugikan, atau menindas rakyat. Hilangnya rasa malu ini adalah indikasi nyata dari utopia kesejahteraan dan krisis moral yang parah.
Mendamba (Sifat) Pemimpin Ideal
Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu merujuk pada pemikiran Buya Hamka, ulama dan sastrawan Indonesia. Dalam bukunya Tasawuf Modern, Hamka menekankan pentingnya integritas dan akhlak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Hamka, seorang pemimpin harus memiliki sifat amanah (dapat dipercaya) dan istikamah (konsisten dalam kebenaran). Tanpa integritas dan akhlak, kekuasaan hanya akan menjadi alat untuk memuaskan nafsu.
Selain itu, pendidikan moral dan etika harus menjadi prioritas dalam membangun karakter penyelenggara negara. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, dalam bukunya Pendidikan, menekankan bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Pendidikan yang baik akan melahirkan pemimpin yang memiliki rasa malu dan tanggung jawab.
Kembali lagi, Pram sudah memberikan gambaran gamblang untuk menilai seseorang bisa dinilai sebagai individu yang terpelajar. Pram menulis sebuah ungkapan “adil sejak dalam pikiran, perkataan dan perbuatan”. Selama para pemimpin dan pengambil kebijakan masih keruh dalam cara berpikir. Jangan berharap keadilan dan kesejahteraan itu dapat terwujud.
Ada sebuah lagu yang merepresentasikan kondisi hari ini. Iwan Fals dalam lagunya Manusia Setengah Dewa, seharusnya cukup untuk menampar wajah para pemimpin negeri. “Urus saja moralmu, urus saja akhlaqmu, peraturan yang sehat yang kami mau”
Moral rakyat sudah semestinya tak perlu dicemaskan. Moral para elitlah yang seharusnya dibenahi, diberi edukasi atau diberi sanksi. Persoalan yang terjadi negeri ini tidak bersumber pada rakyatnya. Melainkan bersumber pada orang-orang yang diberi mandat di istana.