Waktu dan Kejadian

Waktu demi waktu berlalu begitu saja. Hari, bulan, dan tahun berganti hanya termaknai sebagi sebuah seremoni tanpa imajinasi. Kita telah lama lalai memberikan makna hidup akan keberadaan waktu dan kejadian di dalamnya.

Bagi sebagian orang, waktu merupakan sebuah kutukan, penderitaan, dan ketakutan. Waktu adalah luapan kemarahan saat merasa menunggu lama dalam antrean panjang di sekian nama tempat.

Seno Gumira Ajidarma (SGA) kini terlihat semakin tua. Kalau didasarkan waktu, maka parameter yang perlu dijadikan adalah fakta bahwa prosais penting itu semakin bertambah usia. Dulu, di Majalah Djakarta! edisi Maret 2005, ia menulis esai “Menjadi Tua di Jakarta”.

Esai yang kemudian dimaktubkan dalam buku Kentut Kosmopolitan (2008) itu konon menjadi salah satu tulisan yang memukau banyak orang. Mereka ingat betul dengan salah satu pernyataan yang ditulis oleh SGA:

“Bagi saya alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiunan tidak seberapa.”

SGA saat di usianya saat ini membaca kembali pernyataan tersebut, mungkin hanya cengengesan saja. Toh, itu benar terjadi setidaknya di kalangan urban yang tiap hari menghadapi berbagai kejadian memuakkan—berdesak-desakan di transportasi umum, berebut keras suara klakson kendaraan, hingga saling mendahului di tengah jalanan sempit.

Pada akhirnya, mereka mungkin harus dikata menerima keberadaan dirinya dikendalikan waktu yang mengesankan betapa waktu itu kekecewaan.

Rupanya, dalam silang sengkarut perubahan kebudayaan, ungkapan SGA menyiratkan akan apa yang dinamakan relasi waktu dengan dunia kerja. Kata “kerja” itu mengingatkan kita pada keberadaan Presiden Jokowi di ruang publik yang saat pidato kerap berucap: “Kerja, kerja, kerja”. Kalau kita menenggelamkan diri pada kesadaran sejarah, kita akan paham waktu merupakan gejolak yang berkelindan dengan ekonomi, agama, hingga politik.

Baca juga: Sastra Jendra Hayuningrat, Sedulur Papar dan Insan Peneka

Setidaknya, itu satu di antara yang dapat kita simak lewat penjelasan Denys Lombard melalui buku Nusa Jawa: Silang Budaya: Bagian I: Batas-Batas Pembaratan (cetakan keempat, 2008). Wilayah pra Indonesia mengalami berbagai gejolak akan perhitungan mengenai waktu.

Beberapa sistem penanggalan yang telah menjadi kebudayaan harus tunduk dengan apa yang diyakini oleh Belanda, di bawah embusan napas pencerahan Eropa. Lombard memberikan pernyataan itu sebagai desakralisasi akan waktu.

Beberapa sistem penanggalan yang telah menjadi kebudayaan harus tunduk dengan yang diyakini oleh Belanda, di bawah embusan napas pencerahan Eropa. Lombard memberi pernyataan itu sebagai desakralisasi akan waktu.

Jam Eropa berpengaruh pada aktivitas kerja. Lombard menulis: “Jam Eropa terutama berimplikasi ketepatan waktu, yang berkaitan dengan konsepsi baru tentang kerja. Sebuah teks menarik kutipan dari sebuah artikel berjudul Djam yang terbit pada tahun 1915 di salah satu surat kabar Sumatra Barat, menunjukkan dengan jelas munculnya kesadaran itu: “Djika kita hati-hatikan benar ada lagi iang diteriakkan djam itoe; dengarlah olehmoe: ‘Kerdja! Kerdja! Kerdja!’”.”

Kita tak tertarik untuk mencari keterhubungan seruan di tahun 1915 dengan apa yang kerap diungkap oleh Presiden Jokowi. Kita malah teringat, pada tahun 1915 itu terhadap seorang ahli fisika Jerman, Albert Einstein.

Konon, pada tahun itu ia menyelesaikan gagasannya mengenai Teori Relativitas Umum, menyusul gagasan sebelumnya Teori Relativitas Khusus (1905). Melalui relativitas itu, Einstein memberi tawaran baru atas konsepsi perihal waktu. Ia mendobrak dan meletakkan dirinya menjadi pioner kelahiran Fisika Kuantum.

Kita simak saja sebuah novel terkait perjalanan kehidupan Einstein garapan Alan Lightman. Di Indonesia, novel itu diterjemakan oleh Yusi Avianto Pareanom dengan judul Mimpi-Mimpi Einstein (1999).

Novel terangkai dengan kalimat-kalimat puitis yang mengantarkan para pembaca secara perlahan memahami konsep waktu dalam kontestasi ilmiah. Di mata pembaca, buku itu perlu patut dikenang dan dihormati.

Baca juga: Menempatkan Gagasan Gus Dur dalam (Konflik) Politik Identitas

Di sebuah bagian, pembaca mendapat penjelasan dari Lightman: “Di dunia ini ada dua jenis waktu. Waktu mekanis dan waktu tubuh. Waktu yang pertama kaku, laksana pendulum besi raksasa yang berayun maju-mundur. Waktu yang kedua bergeliang-geliut seperti ikan cucut di teluk. Waktu yang pertama tak dapat ditolak, telah ditetapkan sebelumnya. Waktu yang kedua mengambil keputusan sekehendak hati.”

Pernyataan itu agaknya bisa mudah kita pahami. Kita kerap kali menjumpai dua pemaknaan akan posisi waktu. Kaku dan luwes. Saat kita terbayang-bayang tugas, tanggungan pekerjaan, rapat, atau jadwal bertemu orang, itulah kekakuan yang terasa dari waktu.

Saat kita terbayang-bayang tugas, tanggungan pekerjaan, rapat, atau jadwal bertemu orang, itulah kekakuan yang terasa dari waktu.

Sebaliknya, saat di mana banyak aktivitas kita menjadikan diri merasa menikmati waktu dan kejadian yang bergulir, itu keluwesan dari sebuah waktu. Masalahnya, dalam derap kemajuan kota, pertumbuhan industrial, dan laju mesin yang menderu, sangat sedikit peluang bagi kita untuk dapat “menikmati waktu” itu. Akhirnya, waktu dan kejadian di dalamnya dialokasikan sebatas pertaruhan fisik serba orientasi material-duniawi.

Perumpamaan lain yang dikemukakan Lightman adalah kesadaran waktu yang dialami antara anak-anak dengan orang dewasa. Ia menulis: “Bagi anak-anak, waktu bergerak terlalu lambat. Mereka selalu terburu-buru dari satu kejadian ke kejadian lain, tak sabar menanti hari ulang tahun dan tahun baru, tak sabar menunggu lebih lama lagi. Kelompok tua mati-matian menginginkan waktu berhenti.”

Kutipan Alan Lightman lekas mengingatkan buku garapan Johan Huizinga, Homo Ludens: Fungsi dan Hakekat Permainan dalam Budaya (1990). Sejarawan dan teoretikus budaya tersebut menulis: “Permainan memisahkan diri dari kehidupan biasa dalam hal tempat dan waktu.”

Kalimat menyebabkan ketegangan saat ditafsir orang dewasa. Terkadang, menjadi dewasa selalu kangen dengan masa kanak-kanak saat benar-benar bisa menikmati waktu. Mereka muak dengan waktu mekanis, meski nyatanya selalu mengulang kesalahan lewat ungkapan: waktu dan tempat dipersilakan.

Bagikan
Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here