Sains Kealaman dan Gender
ilustrasi dari pexels

Pada sekian pertemuan dengan beberapa aktivis perempuan, saya kerap membuka obrolan mengenai feminisme dalam sains kealaman.

Sepenangkapan saya, dari percakapan yang bergulir tak membuat saya puas, atau setidaknya melegakan hati saya. Sebab ada pola kecenderungan yang muncul dalam wacana feminisme dan sains kealaman.

Belum banyak yang menaruh perhatian, dengan kata lain, sains kealaman masih diakui sebagai sesuatu yang “netral”.

Sekian tahun pula bertungkus lumus dengan studi fisika, saya dapat memberi sekelumit gambaran: betapa ilmu-ilmu sains kealaman, secara umum masih direpresentasikan oleh publik melekat pada sosok laki-laki (maskulin).

Berangkat dari sana, penting bagi kita untuk membuka ingatan. Saintis perempuan yang secara porsi banyak dikenalkan ke publik adalah Maria Sklodowska. Perempuan kelahiran Warsawa, Polandia, 7 November 1867 ini kemudian dikenal dengan Marie Curie.

Sebagai saintis, pencapaian penting bersejarah Marie Curie adalah mendapat anugerah hadiah Nobel pada 1908 dan 1911. Dunia terus memberi tatapan lewat pengisahan demi pengisahan.

Kita boleh mengajukan beberapa buku tentangnya yang telah menjumpai sekian pembaca di Indonesia. Ada Wanita Penerima Hadiah Nobel (CV. Danau Singkarak, 1992) garapan RS Sulita, Marie Curie (Gramedia Pustaka Utama, 1993) terjemahan karya Beverly Birch, Marie Curie (Elex Media Komputindo, 1995) terjemahan karya Wan Ie So, dan Curie & Radioaktivitas (Erlangga, 2002) terjemahan Paul Strathern.

Dua buku yang disebut mula-mula, Wanita Penerima Hadiah Nobel (1992) dan Marie Curie (1995) menarik untuk ditelisik, sebab buku itu dikemas untuk anak-anak. Ada semacam penanda bagaimana kiprah Marie Curie menjadi bacaan anak-anak.

Baca juga: Mendorong Literasi Keagamaan di Masjid

Penyediaan bacaan itu tentu tak sebatas pada ketersediaan buku semata, lebih jauh, ada makna untuk mengenalkan sedini mungkin ihwal gender.

Lugasnya, kepentingan itu berupa peletakan cara pandang: dunia sains bukan milik laki-laki. Namun, perempuan juga memiliki ruang untuk terlibat aktif di dalamnya. Sains kealaman dan kesetaraan gender tak pelak perlu ruang untuk bersua bersama.

Bacaan dan Gender

Dalam pengamatan atas beberapa buku bacaan anak, saya terkesima tatkala penerbit Kiddo (bagian dari Gramedia) menerjemahkan buku seri “Profesi STEAM” garapan duet penulis Inggris, Shini Somara dan Nadja Sarell.

Buku yang terbit Desember 2022 ini terdiri dari empat judul: Nenekku Seorang Engineer, Ibuku Seorang Saintis, Tanteku Seorang Coder, dan Sepupuku Seorang Ahli Matematika.

Selain buku Nenekku Seorang Engineer yang terbit kali pertama di 2020, tiga lainnya terbit pada 2021. Buku ini mengisahkan anak dalam percakapan demi percakapan acak tentang rutinitas sehari-hari, kemudian ditarik ke perkembangan di tiap cabang keilmuan.

Ada keterbukaan pikiran yang hadir dalam percakapan saban tokoh. Anak kecil tak dibungkam dengan pertanyaan-pertanyaan “liar” dan “imajinatif”.

Buku ini juga memberi aksentuasi, di keluarga-keluarga Eropa, ihwal ilmu dan pengetahuan menjadi bahasa keseharian. Meski demikian, kita juga patut menggarisbawahi akan narasi yang dibawa dalam nuansa kota (urban).

Kenyataan itu belum tentu langsung “klop” di telinga anak-anak Indonesia. Namun, hal penting yang ingin ditekankan buku seri pada makna sesungguhnya adalah hubungan perempuan, sains, dan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematic).

Pelajaran Berharga

Ada pelajaran berharga sampai buku seri itu perlu diterjemahkan ke dalam bahasa kita, bahasa Indonesia. Dua perkara yang mungkin; pertama, minimnya penulis Indonesia yang menyajikan bacaan anak bernuansa ilmu dan pengetahuan, kedua, keengganan pengembangan wacana sains dalam konteks feminisme. Padahal, dalam konteks perubahan yang terjadi, hal ini sangat diperlukan.

Sebagaimana yang terjadi, dalam konteks Indonesia, sains dan perempuan masih terpisah sekat tebal nian. Mary Astuti di majalah Basis edisi Juli-Agustus tahun 2000 sempat menyinggung masalah ini lewat esai “Pendidikan Berperspektif Gender”.

Mary Astuti menegaskan, peran untuk menjadikan adil gender terdiri dari dua hal: keluarga dan sekolah. Keduanya merupakan institusi paling dasar dan penting dalam membangun alam pikiran anak.

Baca juga: Kemajemukan Toleransi Beragama

Mary Astuti juga membahas keberadaan buku, khususnya buku pelajaran. Dengan penuh harap ia menegaskan peningkatan pemahaman gender, kesadaran dan sensitivitas gender oleh para penyelenggara pendidikan, para pengarang dan penulis buku pelajaran, hingga para guru kiranya dapat mengubah persepsi yang adil dan ramah gender.

Hal ini tentu butuh untuk terus diusahakan. Di sekian judul buku, sering kali mulai dari ilustrasi, penokohan, dialog antartokoh, hingga pemaknaan tulisan memuat stereotipe tersendiri, utamanya perempuan. Sains kealaman dan gender bisa bersatu bila bersanding dalam buku-buku.

Saya mengandaikan di hari esok muncul penulis dan pengarang yang dapat membongkar dan menembus jarak antara perempuan dengan sains, seperti penyusunan bacaan bagi anak.

Satu ruang berupa pengenalan ilmuwan perempuan. Ambil contoh: Karlina Supelli sebagai salah satu ahli astronomi perempuan pertama Indonesia, Premana W. Premadi, seorang astronom perempuan yang kini memimpin Observatorium Bosscha, dan Herawati Sudoyo, salah satu ahli biologi molekuler.

Di luar contoh saintis perempuan di atas, masih banyak akademisi maupun ilmuwan perempuan Indonesia dengan masing-masing koridor keilmuannya. Yang ingin saya tegaskan, bidang sains kealaman tidak identik dengan laki-laki.

Ada sekian perempuan telah membuktikan. Hanya saja dalam sistem, tak terkecuali di bacaan anak, mereka belum dikenalkan. Bias gender dalam sains kealaman adalah masalah yang butuh pemecahan, yang tidak harus menunggu waktu lebih lama lagi.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here