Ilmu Menurut Ajaran Jawa
Ilustrasi dari Indonesian Islamic Philology

Sedari 14 abad yang lalu, Sang Nabi pernah bersabda,”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim sedari ia dilahirkan sampai ia meninggal dunia”.

Lebih lanjut, Sayyidina Ali juga pernah berkata dalam syairnya, “Tiada kemuliaan selain bagi orang yang berilmu yang senantiasa memberi tuntunan dan menjadi bukti bagi pencari petunjuk” (Al-Ghazali: 2019).

Ilmu dengan berbagai macam hiasannya selalu memiliki daya tarik bagi saban manusia. Bahkan manusia dapat dikata lebih unggul daripada makhluk lain karena adanya ilmu yang cukup efektif dan fungsional dalam diri manusia.

Keutamaan ilmu sangat banyak, salah di antaranya sebagaimana tertera dalam kitab suci Al-Qur’an surah Al-Mujadilah ayat 11, yang artinya, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian, dan Allah akan lebih meninggikan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.

Dengan keutamaan ilmu sebagaimana yang telah disitir di atas, maka posisi ilmu ini sangat penting bagi perkembangan kehidupan manusia. Ia dapat membawa manusia mencapai hakikat keinginan dari setiap manusia; bahagia dunia dan akhirat.

Definisi Ilmu

Ilmu itu sendiri, dalam ajaran jawa lebih dikenal dengan kata ngelmu. Kata ngelmu terdiri dari dua kata yaitu “ngel yang berarti ‘angel atau ‘sulit’, dan “mu” yang berasal dari kata tinemu yang berarti ‘diketahui’ atau ‘dimengerti’. (Soesilo: 2000).

Jadi, jika kita pahami dari dua kata ini, menurut ajaran Jawa, ilmu adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami dan dimegerti.

Berdasar arti semacam ini, lantas banyak para filosof Jawa yang mengatakan bahwa “ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budaya pangekese dur angkara”

Baca juga: Ruwah dan Ritus Sebelum Ramadhan

Kalimat tersebut memiliki arti demikian, ‘ilmu yang sejati hanya dapat dicapai dengan laku atau pengamalan, ilmu hanya berguna jika diimplementasikan dalam perilaku sehari-hari, yakni dengan perilaku yang berdasarkan kesungguhan hati kita baru akan merasakan kepuasan batin, selain itu dengan ilmu semacam ini kita akan memperoleh kesadaran sejati yang dapat mengikis segala macam keangkuhan’.

Begitu sulit dalam mencari ilmu, hingga berdasar kalimat di atas, output dari kita mendapatkan ilmu adalah menemukan kepuasan batin dan kesadaran sejati. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu, dan apa sifat-sifat dari ilmu menurut ajaran Jawa?

Ilmu dalam pandangan Jawa lebih diarahkan kepada ajaran rahasia yang berfungsi sebagai pegangan hidup. Jadi sesuatu yang difungsikan untuk menjadi pedoman dalam meniti jalan hidup, maka hal itulah yang dinamakan ilmu.

Namun perlu digarisbawahi, bahwa tidak semua hal yang digunakan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan disebut ilmu. Sebab, ada semacam pembedaan antara ilmu dengan pengetahuan.

Ilmu adalah pengetahuan yang sistematis, memiliki obyek kajian tertentu, yang dalam hal ini disusun berdasar metodologi dengan menggunakan indra batin serta penghayatan pribadi dengan aktivitas otak (olah pikir).

Sifat-sifat Ilmu

Sifat adalah sesuatu yang melekat dengan sesuatu hal. Maka, bila kita mengatakan sifat ilmu, maka yang dimaksud adalah beberapa hal yang melekat pada ilmu. Sedang beberapa hal yang melekat kepada ilmu—atau lebih mudah kita katakan sebagai sifat-sifat ilmu—menurut ajaran Jawa ada tujuh (Soesilo: 2000).

Ilmu menurut ajaran Jawa meliputi: Pertama, ilmu didapat dan diketahui oleh laku batin atau penghayatan rohani. Maksudnya, dalam memperoleh ilmu kita dituntut untuk menempuh laku batin berupa laku-laku spiritual dan menggunakan metode (tata aturan) dengan menghayatinya.

Kedua, dimengerti dan diketahui setelah dijalani sendiri. Artinya, ilmu itu tidaklah didapat kecuali ketika kita merasakan dan mengalaminya sendiri, seperti kita tahu garam itu asin, puncak itu dingin, selain karena kata orang, kita juga pernah merasakannya.

Sebab saat kita mengetahui sesuatu berlandaskan pengalaman sendiri (empiris), maka pengetahuan yang kita peroleh dapat digolongkan sebagai haqqul yaqin, atau keyakinan secara pasti.

Ketiga, berdasarkan penghayatan, perasaan yang subyektif. Ilmu tidak didapatkan dengan mengerti lewat orang lain, hal ini hampir sama dengan sifat kedua terkait penjelasannya.

Keempat, didapat dengan cara laku tapa brata, cegah dahar dan cegah guling. Tapa brata adalah menanggalkan segala kesenangan duniawi. Cegah dahar dan cegah guling, maksudnya adalah meninggalkan banyak makan dan banyak tidur, musabab mustahil ilmu sejati akan diperoleh jika kita masih meluangkan banyak waktu kita untuk makan dan tidur.

Selain itu, contoh dari meninggalkan dunia itu seperti, ilmu tidak mungkin didapat jika kita terus-menerus menggunakan waktu kita untuk memperbanyak harta maupun tahta. Sudah barang tentu, ketiganya pasti merenggut waktu dan fokus kita dalam rutinitas keseharian.  

Baca juga: Mendorong Literasi Keagamaan di Masjid

Kelima, dijalankan dengan heneng, hening dan heling. Heneng berarti konsentrasi. Hening maksudnya berpikiran jernih. Heling bermakna senantiasa ingat kepada Tuhan. Maksudnya dalam kita menemukan ilmu disyaratkan memilki kesatuan di antara ketiganya, berkelindan satu sama lain.

Keenam, merupakan ujung dari pengetahuan manusia. Dari sifat yang keenam ini, dapat lebih terlihat bahwa maksud dari ilmu mengarah pada kemakrifatan dan ilmu yang mencapai hakikat, bisa terkait dengan hakikat segala sesuatu, hakikat penciptaan manusia, hakikat hidup, dlsb.

Terakhir, lebih banyak menggunakan rasa daripada rasio. Maksudnya dalam memperoleh ilmu versi jawa, rasio digunakan dalam porsi yang lebih kecil daripada rasa.

Hal ini dikarenakan obyek dari ilmu versi jawa adalah hal yang abstrak; yang tidak dapat diindra dan ditemukan dengan jalan pikiran, maka dalam memperolehnya dipakailah pendekatan rasa.

Sebab rasa lebih dapat mengetahui sesuatu yang bersifat abstrak. Hal ini seperti memahami hakikat cinta, bukan akal dan indra yang dapat mengetahuinya, karena cinta itu tidak dapat diteorikan secara pasti, tetapi harus dipahami setelah merasakannya secara pribadi. Bukankah cinta adalah anugerah terindah dari Sang Maha Cinta?

Bagikan
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN RM Said Surakarta. Peminat kajian sejarah, agama dan budaya.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here