Silaturahmi, dari Tutur Kata ke Lubuk Hati
Ilustrasi dari indonesiainside.id

Bulan Ramadan sudah terlaksana. Satu bulan lamanya mayarakat muslim telah digembleng dengan peribadatan dari puasa, shalat, zakat, dan ibadah lainya. Tentunya aktivitas ibadah di bulan suci ini tak boleh berhenti dan tak berbekas. Masih ada serangkaian makna yang harus dijadikan ibrah. Nilai-nilai yang telah diperoleh di bulan Ramadan pun jangan sampai sirna. 

Memasuki bulan Syawal, masyarakat Muslim di Indonesia merayakan Idulfitri atau Lebaran. Momentum ini bukan hanya perayaan semata-mata, tetapi juga medium untuk mempererat silaturahmi dan membangun kembali relasi sosial–yang mungkin sempat renggang. Dalam budaya Indonesia, lebaran identik dengan saling memaafkan, berbagi kebahagiaan, serta aktivitas mudik–yakni kembalinya para perantau ke kampung halaman untuk bertemu keluarga dan kerabat. 

Namun, di balik euforia dan hangatnya suasana lebaran, muncul fenomena sosial yang kerap luput dari perhatian: keresahan atas pertanyaan-pertanyaan pribadi yang dilontarkan secara spontan dalam suasana silaturahmi. Pertanyaan seperti “Kapan menikah?”, “Kapan lulus?”, “Kapan punya anak?”, hingga “Sudah beli mobil belum?” atau bahkan “Berapa gajimu sekarang?” sering membuat lawan bicara tidak nyaman. Padahal, tujuan awal dari pertemuan sakral itu adalah mempererat hubungan dan memperkuat tali kasih, bukan malah menambah beban psikologis.

Munculnya fenomena tersebut menandakan bahwa belum terlihat pola komunikasi yang baik menyangkut hal-hal sensitif yang menyinggung privasi dan kondisi psikologis. Masyarakat yang memiliki tradisi basa-basi ini terkadang kurang mempertimbangkan dampaknya, terlebih tidak memikirkan tekanan hidup yang dirasakan orang lain, khususnya kala berkunjung atau silaturahmi. Meskipun niat bertanya terkadang memiliki tujuan membangun komunikasi yang harmonis (tembung alus), tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, ketidaknyamanan dan luka emosional.

Refleksi nilai-nilai bulan Ramadan seharusnya tak dipahami hanya urusan vertikal. Penting kiranya refleksi yang digemborkan meliputi hubungan horizontal seperti relasi sosial. Idulfitri adalah langkah awal mengaplikasikan nilai-nilai yang sudah terbentuk secara spiritual untuk diejawentahkan dalam hubungan sosial semacam silaturahmi dan saling memaafkan, sehingga tumbuh rasa empati, kepekaan murni menghormati privasi orang lain. 

Hati-hati Bertutur

Membangun komunikasi yang sehat tentu tidak mudah. Satu hal yang pasti dilakukan saat silaturahmi adalah menanyakan hal-hal personal. Sebelum mengajukan pertanyaan, kita perlu tahu batasannya. Hal ini penting agar pembicaraan tidak menembus ruang privasi orang lain. Dalam teori social penetration oleh Altman dan Dalmas Taylor (1973), hubungan interpersonal berkembang melalui pengungkapan diri secara bertahap: dari informasi permukaan (superfisial) ke informasi pribadi.

Komunikasi yang terlalu cepat menerobos lapisan terdalam seseorang menyebabkan ketidaknyamanan bahkan resistensi. Dari sini, kita boleh mengetahui hal-hal privat orang lain jika yang bersangkutan bersedia cerita. Namun, kita juga harus menjaga kerahasiaan tersebut.

Sebagaimana diriwayatkan Jabir bin Abdillah RA., sungguh Rasulullah SAW. bersabda:

“Ketika seseorang berbicara kepada orang lain dengan suatu pembicaraan, kemudian ia berpaling (darinya), maka pembicaraan itu adalah amanah.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Menjaga kepercayaan adalah landasan penting dalam menjaga hubungan interpersonal. Ketika ada seseorang berbagi cerita hidup, terutama informasi pribadi, itu adalah bentuk self-disclosure. Hal ini menjadi sarana menjaga keintiman dan menggerakkan komunikasi dari tingkat dangkal ke tingkat lebih dalam.

Baca juga: Zakat, Stabilitas Ekonomi dan Kohesi Sosial

Dalam Islam, kehati-hatian berkomunikasi sangat ditekankan. Salah satu larangan utama adalah ghibah atau membicarakan keburukan liyan. Sebagaimana dalam Surah Al-Hujurat ayat 12:

Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”

Kiasan dalam ayat ini menunjukkan bahwa ghibah sama halnya memakan bangkai saudara sendiri. Tentunya hal ini perlu diperhatikan karena ghibah merobek persaudaraan dan kedekatan antarindividu.

Menyoal Ghibah

Nyatanya, dalam masyarakat, kegiatan ghibah menjadi bagian dari interaksi sosial sehari-hari. Meski sulit dihindari, beberapa perspektif psikologi memandang ghibah memiliki fungsi sosial tertentu. Misalnya, menurut Roy Baumeister, ghibah dapat membantu individu belajar dari pengalaman orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Kniffin & Wilson (2005) juga menyatakan bahwa gosip dapat menguntungkan kelompok jika ada sistem imbalan bersama dan pengawasan timbal balik. Oleh karena itu, perlu kiranya kita memahami arti ghibah dalam konteks Indonesia. Dalam KBBI, “ghibah” punya arti membicarakan keburukan atau aib orang lain, atau bergunjing. Ghibah dapat dilakukan secara lisan, tulisan, atau bahkan hanya dengan bahasa tubuh.

Ghibah dalam konteks ini harus dilihat secara fundamental, khususnya terkait objeknya. Kita harus bisa memilah, mana ghibah demi kemaslahatan bersama, dan mana yang senda gurau, hiburan, atau pelampiasan emosi.

Imam Nawawi memperbolehkan ghibah dalam kondisi tertentu, yaitu: saat dizalimi, saat meminta bantuan menghentikan kemungkaran, saat meminta fatwa, saat memberi peringatan, saat dosa dilakukan secara terang-terangan, saat memperkenalkan seseorang (An-Nawawi, 1971).

Seni Bertutur

Banyak dari kita merasa kesulitan dalam berkomunikasi, baik dengan orang yang baru dikenal, orang yang sudah lama tidak ditemui, maupun dengan seseorang yang memiliki strata sosial lebih tinggi. Karena itu, penting untuk memahami seni berkomunikasi. Dalam Islam, pada masa-masa perkenalan, dianjurkan untuk menjalin hubungan secara wajar dan sopan. Rasulullah Saw bersabda:

Tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Sebarkan salam diantara kalian” (HR. Muslim, no.54). 

Baca juga: Labuhan: Tradisi Tumpengan dan Legenda Telaga Pasir Sarangan

Salam merupakan sarana awal yang sederhana namun sangat bermakna dalam membangun kedekatan emosional. Ia menghindarkan permusuhan dan menumbuhkan kasih sayang sebagai bentuk dari ḥilm (lemah lembut) dan raḥmah (kasih sayang).

Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan dosa keduanya sudah diampuni sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dishahihkan oleh al-Albani) 

Dalam perspektif sufi, setiap tindakan lahiriah mencerminkan keadaan batiniah. Berjabat tangan tentunya tidak hanya aktivitas fisik saja, tetapi juga ketersambungan energi batin dari keduanya sehingga melahirkan perasaan persaudaraan dan cinta kasih karena Allah. Aktivitas ini dapat menggugurkan dosa-dosa kecil dan menyelimuti jiwa dengan ketenangan, bahkan mengalihkan penderitaan batin menjadi kedamaian hati.

Dasar Empati dan Self-Discourse

Bertautnya perasaan setelah pertemuan awal akan mendorong seseorang untuk mulai mengeksplorasi perasaan tersebut ke dalam bentuk ucapan, seperti menanyakan kabar. Dari sinilah akan tumbuh rasa empati.

Ketika proses eksplorasi perasaan telah terjalin dan kedekatan emosional meningkat, saat itulah proses pembukaan diri (self-disclosure) mulai terjadi. Namun, seseorang perlu pandai memilih teman bicara yang tepat untuk berbagi–yaitu mereka yang dapat membawa pada kedalaman emosional yang sehat.

Dengan demikian, dibutuhkan tahapan dan hati-hati untuk sampai pada pemahaman terhadap sisi privat seseorang. Apabila dalam tahap perkenalan kita langsung melompat ke kedalaman perasaan, hal itu justru dapat mengganggu kualitas interpersonal.

Saat keterbukaan sudah mencapai tingkat penuh di mana individu merasa nyaman berbagi hal-hal sensitif, di situlah kedekatan hati terbentuk. Pada akhirnya, muncul apa yang dalam perspektif sufistik disebut ittihad al-qulub (persatuan hati). 

Bagikan
Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here