
Majalah atau Tjandrawarti Dudu Kowe merupakan terbitan dari perseroan terbatas bernama N.V. Winduketjono, yang dahulu berdiri di Surakarta. Selain menerbitkan majalah, penerbit ini juga memproduksi buku.
Majalah ini terbit sebulan sekali, dengan Ki Mangkusudiono sebagai direkturnya, berdasarkan Akta Notaris Surakarta No. 10, tanggal 10 April 1953. Alamat redaksi berada di Penumping, Solo.
Para pemimpin redaksinya antara lain adalah K.K.A. Suryomentaram, Ki Prawirowiworo, Ki Pronowidigdo, dan Ki Kartosumarto, sedangkan staf redaksinya termasuk Sastrokarjono.
Majalah yang tampak pada gambar adalah Edisi No. 7/Tahun III/Djuli 1955, dengan harga Rp 3,-. Isinya, antara lain, memuat: Sangu nandangi laki-rabi, Bab raos kosok wangsul, Saiki, kene, ora mau, Rembagipun ajam kalian dara, Rembagipun Soekarso dateng Suroso, Kaperluan panganten, serta Perslah papanggihan Djunggringan Salaka ing Madiun dipun rawuhi K.K.A. Soerjomentaram. Semua artikelnya ditulis dalam bahasa Jawa.
Penulis akan berusaha menyerap makna dari salah satu pembahasan yaitu mengenai “Sangu nandangi Laki-Rabi.”
Mengenal Ki Ageng Suryomentaram
Ki Ageng Suryomentaram, bernama asli Kudiarmaji, adalah putra ke-55 dari Sultan Hamengku Buwono VII, lahir di Keraton Yogyakarta pada 20 Mei 1892. Karena lahir dari garis bangsawan, ia diberi gelar Bendoro Raden Mas (BRM). Ibunya, B.R.A. Retnomandoyo, adalah selir Sultan dan putri dari Patih Danurejo VI.
Sejak kecil, Suryomentaram hidup di lingkungan Keraton, yang cenderung membatasi kebebasan berpikir dan mengekspresikan diri. Ia merasa tidak cocok dengan kehidupan tersebut, dan sering mencari ketenangan batin di luar dan selalu eksperimen terhadap rasanya sendiri, dengan menjadikan dirinya sebagai objek penelitianya
Pada usia 18 tahun, ia diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram, namun menolak gelar tersebut. Setelah ayahnya wafat, ia meminta kepada Sultan Hamengku Buwono VIII agar gelarnya dicabut. Ia kemudian memilih hidup di Bringin, Salatiga, dan mendalami ajaran ilmu Begja (kebahagiaan) atau yang sekarang dikenal dengan Kawruh Jiwa. Akibat penemuanya ini Marcel Bonneff peneliti dari perancis menyebutnya Pangeran dan Filsuf dari Jawa.
Baca juga: Wejangan Ki Ageng Suryomentaram: Hidup Bahagia?
Setelah menemukan ilmu kawruh jiwa, Ki Ageng Suryomentaram aktif menyebarkan ajaranya dengan metode kondo-takon. Kurang lebih artinya siapa yang sudah mengetahui memberitahu, dan yang belum tahu boleh menanyakan. Kegiatanya dinamakan dengan Junggring Salaka. Selain itu Ki Ageng Suryomentaram juga aktif dan ikut andil dalam tulisan di Tjandrawati “dudu kowe” dan banyak buku-buku Ki Ageng Suryomentaran yang diterbitkan oleh perseroan terbatas bernama N.V. Winduketjono.
Sangu Nandangi Laki-Rabi
Untuk mengerti pasangan sebelum menjalankan hidup bebojoan, menurut Ki Ageng Suryomentaram seseorang harus bisa meneliti perasaan sewenang-wenang dalam dirinya untuk terhindar dari rasa takut dalam melangkah ke jenjang pernikahan. Sebab rasa takut yang ada di dalam diri akan menjadi penghalang seseorang untuk menikah karena tidak bisa mengetahui rasa secara mendalam calon istrinya. jika seseorang mengetahui rasa pasanganya maka akan menemukan jodoh yang pas. Agar lebih mendalam perlunya untuk mengetahui hal-hal yang selama ini menjadi masalah yang dihadapi.
Bab Rupi
Seseorang yang mencari pasangan biasanya lebih memperhatikan kesempurnaan fisik, salah satunya adalah wajah yang dianggap bagus atau cantik. Gambaran ideal tentang makna bagus-cantik inilah yang seringkali menimbulkan masalah dalam proses pencarian pasangan. Padahal, konsep ideal pasangan yang sesuai dengan keinginan kita sejatinya tidak pernah benar-benar ada. Semua hal yang kita anggap ideal itu pada dasarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan pernikahan, melainkan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan visual atau kesenangan memandang (sesawangan).
Bagus-cantik melihat pasangan untuk dinikahi berangkat dari rasa suka. Ketika seseorang sudah suka terhadap pasanganya, pasti sudah akan terlihat pasanganya itu bagus-cantik. maka butuh menghadirkan rasa suka untuk melihat bagus-cantik pasangan.
Konsep bagus cantik inilah yang menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah sumber penderitaan. Maka perlunya memahami dua rasa yang pertama adalah rasa doyan yaiturasa suka atau tertarik karena hal-hal yang tampak dari luar yang dirangsang oleh pancaindra, seperti rupa, suara, atau wangi. Rasa ini bersifat lahiriah dan sementara.
Konsep ideal yang kita miliki berangkat dari catatan yang sifatnya kata-katanya, bukan merasakan sendiri. Perasaan suka (raos doyan) muncul dari pancaindra, lalu terekam dalam hati (manah), dan catatan itu menumbuhkan keinginan (raos kepingin).
Yang kedua Raos kedanan yaitu rasa cinta atau terpesona yang muncul dari dalam hati (manah). Rasa ini lebih dalam, muncul bukan karena bentuk luar, tetapi karena ikatan batin, pengalaman, atau kepribadian. Bagi Ki Ageng, terkadang seseorang salah memahami rasa “doyan” sebagai “cinta”, padahal keduanya berbeda. Rasa doyan muncul karena “bagus-cantik” secara fisik, sementara kedanan muncul karena hubungan batiniah.
Kemampuan seseorang dalam membedakan antara rasa doyan (nafsu lahiriah) dan rasa kedanan (ketertarikan batiniah) adalah orang yang sudah mengenal kekuatan batinnya sendiri. Ia tidak mudah terjebak pada keindahan yang sementara, melainkan lebih jernih dalam menimbang siapa pasangan hidup yang sesuai dengan dirinya.
Bab awon lan Sae
Masyarakat Jawa memilih pasangan biasanya melihat bibit (keturunan), bebet (status sosial ekonomi), dan bobot (karakter, kepribadian, dan pencapaian maka tak heran jika sangat selektif dalam mencari pasangan. Para orang tua (moro sepuh) biasanya melihat terlebih dahulu, mencari menantu, atau mencari besan guna mencari pendamping hidup yang ideal.
Pembahasan ini akan mengurai, bagaimana seseorang akan merasakan kesusahan, ketika harus menilai perilaku baik atau buruk. Penilaian baik dan buruk ini biasanya menurut Ki Ageng didasarkan pada standar hukum negara atau norma masyarakat. Agar lebih jelasnya akan diberikan sebuah contoh :
Misal orang yang pernah dihukum penjara biasanya dicap sebagai orang yang buruk menurut hukum negara, orang yang temperamen tinggi dicap buruk oleh masyarakat.
Namun sebenarnya, ukuran baik dan buruk bukan ditentukan oleh negara atau masyarakat, melainkan perasaan benci (sengit) dan suka (remen) yang berasal dari diri sendiri.
Ketika seseorang menyadari rasa suka (remen) dan benci (sengit) yang muncul dari dalam diri, ia juga akan memahami bahwa orang lain pun merasakan hal yang sama. Pemahaman terhadap perasaan ini akan melahirkan rasa damai terhadap orang lain.
Rasa damai inilah yang membuat seseorang tidak takut untuk menikah. Sebab, pada dasarnya kita tidak bisa mengubah orang lain, sebagaimana orang lain pun tidak bisa mengubah diri kita. Dengan begitu, sikap kita terhadap orang lain seharusnya sama seperti sikap kita terhadap diri sendiri: menerima apa adanya, bukan memaksakan perubahan.
Menurut Rogers (1961), penghargaan positif tanpa syarat melibatkan menunjukkan dukungan dan penerimaan penuh terhadap seseorang, tidak peduli apa yang dikatakan atau dilakukan orang tersebut. Jika ditarik dalam pasangan, tidak perlu menuntut perubahan pada pasangan sesuai dengan kehendak kita. Sebagaimana kita ingin dipahami, sikap itulah yang seharusnya diterapkan.
Bab Tresna in Tresna Dudu Wulangan
Kebanyakan orang mencari pasangan dengan berharap menemukan seseorang yang menyukai atau menyenangkan hati kita. Namun, mereka jarang menyadari atau merasakan rasa senang itu dari dalam dirinya sendiri. Jika diteliti lebih dalam, sebenarnya yang dicari adalah cinta yang tanpa batas dan tanpa syarat. Padahal, cinta seperti itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sering disebut cinta (tresna), sejatinya hanyalah dorongan naluriah untuk melanjutkan keturunan. Rasa hidup ini mendorong seseorang untuk melindungi dan merawat anaknya saat masih kecil. Namun, ketika anak sudah tumbuh dewasa dan mulai ada pertengkaran antara orang tua dan anak, maka jelas bahwa rasa hidup itu bukanlah cinta sejati.
Demikian pula dalam kehidupan rumah tangga, rasa hidup itu membuat pasangan yang baru menikah saling memaafkan dan menjaga hubungan. Tetapi, ketika sang istri sedang hamil besar, justru sering terjadi pertengkaran. Ini menunjukkan bahwa rasa hidup itu pun bukanlah cinta sejati.
Baca juga: Petirtaan Dewi Sri: Simbol Kedamaian Desa Simbatan
Ki Ageng Suryomentaram menganggap bahwa cinta bukan sesuatu yang bisa diajarkan (tresna dudu wulangan). Kemauan seseorang juga bukan cinta. Saat sedang jatuh cinta, seseorang akan berjanji apa saja dan merasa sanggup melakukan segalanya. Namun, setelah rasa jatuh cintanya hilang, ia pun mengingkari janji-janji itu.
Cita-cita atau keinginan akan cinta juga bukan cinta. Keinginan akan cinta sering kali berarti menahan rasa benci. Menahan benci ujung-ujungnya tetaplah benci.
Jika benci ditujukan kepada orang lain, maka itu benci kepada orang tersebut. Namun, jika hanya dipendam, benci itu tertuju pada diri sendiri. Keinginan untuk mencintai, jika dasarnya hanya menahan kebencian, sejatinya tetaplah benci.
Maka, cinta yang dicari-cari itu sejatinya tidak ada. Diri kita sendiri, serta hubungan antar manusia, sering kali bersifat semena-mena. Dan semena-mena itu tetap saja semena-mena, meskipun dibungkus dengan relasi atau ikatan lahiriah. Karena itu, cinta bukanlah sebatas hubungan lahiriah, dan hubungan lahiriah sesungguhnya tidak menjamin adanya cinta. Maka menurut Ki Ageng Tresna menika raos sih ingkang tanpa wates lan tanpa syarat.
Menurut Ki Ageng yang bisa merasakan rasa tresna adalah manungso tanpo ciri.
Tanpa nama punika, tegesipun dede Suto, dede Naja, dede Dadap, lan dede Waru. Ciri punika, tegesipun, mboten nem, sepuh, djaler, lan estri; mbien kanta lan mboten warna, mboten papan, lan mboten djaman. Nanging, tiyang saged kraos. Jen raos tresna punika lahir, tijang ladjeng sumerep raosipun tiyang sanes, ingkang sami pleg raosipun piambak.
Intinya, rasa cinta dapat kita rasakan ketika kita sudah mampu melepaskan kemelekatan di dalam diri kita. Sifat kesewenang-wenangan terhadap keinginan yang selalu ingin terwujud sudah mampu dikendalikan. Mampu mengekang sifat-sifat buruk merupakan satu sikap teladan dalam mengenal diri sendiri dan orang lain.
Pada akhirnya, tresna dudu wulangan. Cinta akan muncul ketika seseorang mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ketika seseorang telah memahami makna cinta, ia tidak lagi takut untuk memutuskan menikah.