
Berbicara terkait kesetaraan di abad pascamodern, menjadi dinamika tersendiri bagi muslim Jawa. Sebuah kondisi dalam mana menjadikan Pasalnya, cara pandang kesetaraan atau isu-isu kesetaraan selalu meminta dan menagih hak dan kewajiban seseorang dalam hal ini perempuan atas hak-haknya yang tidak dipenuhi di wilayah publik. Pemahaman yang kelak akan menjurus pada citra diri perempuan Jawa.
Banyak para aktivis perempuan di Indonesia belakangan ini menyuarakan ketidakadilan, terutama ketidakadilan yang mereka sendiri tidak dapatkan dalam ruang-ruang publik dan sebagian ingin meluruhkan perannya dalam wilayah domestik.
Irwan Abdullah menandaskan dengan jelas bahwa mereka (perempuan) yang ingin meluruhkan sifat domestiknya telah kehilangan kemampuannya dalam melihat kehidupan dalam konteks yang lebih luas dan menyeluruh dengan formasi dan pembagian sosial, dalam perspektif yang lebih jauh dan meluas yang bersifat esensial dan eksistensial yang melihat manusia secara universal.[2]
Melihat hal ini tentu, harus lebih jeli dalam menarasikan keinginannya perihal kesetaraan dalam ruang publik. Kelompok aktivis ini, atau yang sering dikenal sebagai kelompok feminis, sama halnya dengan kelompok marxis. Marxisme selalu bergerak meminta hak dan kewajiban dengan pemilik modal, sedangkan feminisme selalu bergerak meminta hak dan kewajibannya atas laki-laki.
Gerakan feminisme Barat yang muncul pada periode 1960 sampai 70an menginginkan pemenuhan kebebasan dan persamaan di segala lini aspek kehidupan baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun kancah politik.
Bagi feminis Barat, peran seorang wanita dalam wilayah domestik selalu dianggap sebagai simbol keterkungkungan perempuan yang tidak bisa mengambil peran dalam wilayah publik. Namun, jika kita menelaah lebih dalam melalui kecamatan sosiologi rumah tangga Jawa, justru kita akan menemukan “rumah tangga” merupakan simpul penting menuju peran sosial yang lebih luas.3
Baca juga: Dr. Simuh, Kejawen dan Islam-Jawa
Saya kira, sebagai Kader Koprs PMII Putri yang masuk dalam jejaring keislaman, sudah seharusnya menemukan ke-diri-annya yang genuine dantidak terperangkap dalam paham modern yang skeptis hingga berujung ateis. Dengan penuh kesadaran tulisan ini ingin mengajak semua gerakan perempuan Islam untuk melihat dirinya yang genuine, yang tidak terjebak dalam idealisasi Barat dan buaian Timur Islam (Timur Tengah).
Citra Diri Perempuan Jawa
Perempuan Jawa, memiliki garis imajiner yang panjang dalam panggung peradaban Jawa, sebagaimana dipaparkan sedikit di atas bahwa perempuan itu sebagai pememong. Majapahit menjadi negara digdaya salah satu peran yang memainkan seorang perempuan yakni Rajaptani Biksuni, dan Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Ratu Sima, Duah Suhita, Sultanah Nahrasiyah dan Ratu Kali Nyamat menjadi seorang ratu dalam menjalankan roda pemerintahan negara yang besar. Bahkan, Abad ke-17 ada Prajurit Estri Jawa yang dalam buku Ann Kumar disebut sebagai kelompok paling terlatih dan teristimewa dalam hierarki perempuan istana.[3] Ini menadakan bahwa perempuan Jawa—dalam hal ini mereka yang beragama Islam—sudah mendapat posisi yang mulia dan tidak periferal.
Pemaknaan kata “ibu rumah tangga” atau pememong dengan hadirnya suatu garis imajiner yang sudah melekat dalam ke-diri-an masyarakat Islam-Jawa, dengan begitu tidak mudah dimaknai sebagai “peran domestik”. Rumah tangga jauh dari persepi orang kebanyakan merupakan ruang yang tak terpisah, tersambung dengan ruang sosial keberadaannya.
Bagi masyarakat Jawa, ruang sosial adalah perpanjangan dari rumah tangga. Oleh karenanya, hampir semua masyarakat Jawa baik laki-laki maupun perempuan tidak memiliki penolakan berati dalam konteks keikutsertaan wanita untuk bekerja, bersekolah lebih tinggi, maupun beraktivitas sosial di luar rumah, selama tidak keluar dari koridor peran domestik-sosial rumah tangga.
Bagi masyarakat Jawa, ruang sosial adalah perpanjangan dari rumah tangga.
Seperti perempuan pada umumnya, mereka akan menerima laki-laki sebagai “pemimpin keluarga” yang tidak terlalu dipersoalkan oleh perempuan Jawa. Sebab, bagi mereka ini pembagian peran yang wajar sesuai peran masing-masing dalam jaringan keterhubungan rumah tangga dalam peran sosial lebih luas.
Sebagai pengatur keuangan keluarga, perempuan menempatkan dirinya dalam jaringan sosial yang menentukan kehidupan sosial dalam dunia simbolik masyarakat Jawa secara umum.
Kepandaian mereka mengatur keuangan dijabarkan dalam peran sosial meliputi beberapa konsep penting: srawung, ulet, gemi, ubet, supel, dan lain sebagainya. Gerak perempuan sejatinya dalam masyarakat Jawa tidak terisolasi, melainkan bentuk keterhubungan dengan apa yang bergerak di luar rumah tangga.5
Pemaknaan “menjalankan kodrat” adalah usaha menghormati dirinya sendiri yang mencerminkan fungsi dan perannya masing-masing dalam usaha menjaga keseimbangan kosmik.
Sachiko Murata menandaskan penciptaan alam senantiasa melalui aktivitas sifat-sifat Illahi yang saling bertentangan dan selalu memperlihatkan prinsip tunggal, karenanya, dualitas bisa dipahami pada setiap aras dan tataran.[4]
Hanya saja, ketika melihat lebih dekat, kita mesti bisa memandang kekuatan-kekuatan yang bertentangan itu (feminin dan maskulin) bukan sebagai hal yang berlawanan secara mutlak, melainkan lebih bersifat komplementer atau saling melengkapi satu sama lain. Di mana pun yin dan yang sealu bekerja sama melahirkan transmutasi dan perubahan secara continue.
Peran antara laki-laki dan perempuan dianalogikan kalimat ar-rahman dan ar-rahim. Laki-laki mengabdurrohman dan perempuan mengabdurrahim. Yang ngabdurrohman memangku supaya jagad tidak goyah sedangkan ngabdurrahim membawa jaga naik ke atas, melangit.
Dengan begitu, tidak ada keunggulan antara satu sama lain. tidak ada pula kesetaraan antara satu sama lain. keduanya sama-sama ngawula, ngabdun, merbabu satu sama lain. Jelasnya, antara laki-laki dan perempuan dalam khazanah Islam Jawa tidak ada pertentangan apabila melakukan gerakan mercusuar meminta kesetaraan dan keadilan.
Hal ini memperkuat bahwa ternyata rumah tangga dianggap sebagai tiang pusat dunia perempuan, sementara bekerja adalah sebagai bentuk perluasan gerak rumah tangga. Dalam skema ini, seberapa tinggi proses pencairan ilmu pengetahuan dalam ruang legal formal, tidak berarti menitah mereka keluar dari peran ibu rumah tangga, melainkan sebagai sarana untuk menguatkan peran sosial rumah tangga dalam skema rukun dan slamet. Hal ini mencandrakan citra diri perempuan Jawa yang menjunjung tinggi harmoni tanpa meninggalkan peran yang otentik.
Satu hal lainnya seorang perempuan Jawa harus mengerti arti dari “kecantikan” dalam praksis mengonsumsi barang kosmetik kecantikan modern maupun praktik belanja baju-baju yang sedang tren.
Secara genuine, perempuan Jawa mengartikan kecantikan bukan berlandas pada aspek yang bersifat eksistensial melainkan mengartikan kecantikan yang ada di dalam akal budi seperti cantik lahir batin, empan papan, akhlaknya baik, bersih dan penampilannya baik.7
Kecantikan bagi perempuan Jawa tidak dikonotasikan kepada hal yang bersifat individualistik melainkan kembali kepada hal-hal yang bersifat sosial.
Gerakan Perempuan Islam-Jawa
Sejarah mencatat, gerakan perempuan (di) Jawa tidak bisa dimanipulasi lagi. Mereka telah membuktikan dirinya menjadi bagian dari gelanggang historis. Abad ke-18, para prajurit estri keraton Mangkunegaran membuktikan bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan saling melengkapi satu sama lain.
Pada paruh abad ke-17, Sultan Aceh memiliki lebah dari 3000 prajurit perempuan dalam mengawal istana.[5] Mereka biasanya tidak diperbolehkan keluar dari kompleks istana dan para laki-laki tidak diperkenankan untuk menemui mereka walaupun sekadar saling curi pandang.
Dalam sastra Jawa modern, representasi dan citra diri perempuan Jawa dalam duel senjata dan medan perang lebah sering terjadi daripada yang mungkin hari ini kita kira. Terutama dalam epos Menak yang seakan tidak ada habisnya mengisahkan karir kepahlawanan Islam Hamzah bin Abdul Muthalib.
Konon, versi Jawa ini dicontek dari versi Melayu oleh Pujangga Keraton Surakarta, R.Ng Yasadipura I, yang cukup mirip dengan versi aslinya, tapi sudah cukup panjang diberikan berapa anotasi yang berbeda terutama terkait dengan kisah-kisah kependekaran karakter perempuan yang sebenarnya juga menonjol dalam versi aslinya.
Galur cerita yang digubah oleh sang Pujangga menarik ketika dalam versi ini muncul putri Cina dan kisah Rengganis si cantik. Putri Cina dalam cerita Menak sangat mungkin menjadi dasar perempuan dalam melukiskan prajurit estri dalam seratnya: anulya pangran diptya, ginarebeg ingkang, prajurit pawestri, tan ana papadanya, angler dewe tedak saking langit, ginarebeg putri saking Cina, lir mangkane umpamane.
Jadi, naskah yang ditulis oleh salah satu Prajurit Estri istana Mangkunegaran ini mendapat inspirasi dari Serat Menak perihal kehadiran dan citra diri perempuan Jawa dalam tradisi kemiliteran saat itu. Bahkan dikisahkan para putri Cina yang masuk dalam keraton Mangkunegaran sangat cantik tak ada banding.
Barang tentu, aspek maskulin dan feminin melekat dalam ke-diri-an prajurit estri Jawa, yang jika hari ini perempuan Jawa memiliki watak dan karakter yang digambarkan dalam serat yang digubah oleh salah satu prakurit estri Jawa tersebut.
Kelak kita bisa melihat gerakan-gerekan perempuan yang lahir sesudahnya pada abad ke-19 ketika politik etis diterapkan kaum kolonial yakni pada tahun 1860-1920 dan gelombang berikutnya pada tahun 1960-1970 pada saat gerakan feminisme berkembang pesat di Barat. Kedua gelombang ini hadir sebagai perlawanan ketidakadilan yang diperoleh perempuan.
Kedua gelombang ini hadir sebagai perlawanan ketidakadilan yang diperoleh perempuan.
Pergerakan perempuan di Indonesia, semestinya tidak sama dengan pergerakan-pergerakan yang lahir dari Barat—yang keluar dari fitrahnya sebagai manusia yang tinggi nan mulia. Perlu dicatat, gerakan Perempuan di Indonesia tidak harus sepenuhnya mengadopsi konsep-konsep dari Barat, khususnya emansipasi.
Ketika melihat gerakan sebelum-sebelumnya, mereka tidak mengadospi gagasan yang dikembangkan oleh Barat. Sebab, mereka sadar dalam bertindak, mereka tidak bisa lepas dari dua sumber hukum Islam berupa al-Quran dan Sunnah dalam mengatur hubungan vertikal dan horizontal.
Pada awal abad ke-20, gerakan perempuan di Indonesia khususnya Jawa tidak lepas dari gerakan sosial internasional yang mengumandangkan emansipasi, nasionalisme, serta kemerdekaan dari kolonialisme. Para perempuan melalui organisasi keperempuanan berjuang bersama dengan gerakan nasionalisme untuk menghilangkan ketidakadilan dalam sistem kolonial.[6]
Awal gerakan ini, fokus kajian mereka menggarap wilayah ketimpangan sosial, bahkan mereka tidak hanya menentang ketidakadilan sosial dari sistem kolonial, melainkan juga masalah perkawinan paksa dan praktik poligami.
Maka, setelah ini bermunculan organisasi perempuan yang tersebar di seluruh Indonesia seperti Putri Mardika (1912) di Jakarta, Perempuan Sosialis Sarekat Islam, ‘Aisiyah (1917) dan sampai sekarang ada gerakan KOPRI PMII.
Tentu saja, semua organisasi ini memiliki tujuan yang sama: menghilangkan semua jenis ketertindasan dan ketidakadilan. Namun, gerakan-gerekan semacam ini tidak boleh terpental jauh dari asal usulnya sebagai perempuan Jawa yang beragama.
Islam yang memegang prinsip amar ma’ruf, nahi mungkar, dan tu’minuna billah. Meminjam bahasanya Kuntowijoyo ketiga unsur itu terbingkai dalam Ilmu Sosial Profetik. Ilmu Sosial Profetik merupakan gerakan sadar yang buahnya dipetik dalam waktu yang cukup lama.[7]
Baca juga: Pendidikan, Buku, dan Ilmuwan
Maka, pilar utama ilmu sosial profetik terdapat tiga amar ma’ruf (humanisasi), nahi mungkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi). Maka, gerakan-gerakan perempuan harus memperhatikan tiga aspek di atas. Karena sejarahnya, kelompok liberalisme hanya mementingkan yang pertama, marxisme hanya mementingkan yang kedua dan kebanyakan agama hanya yang ketiga.
Sudah saatnya kita sadar, gerak perempuan Islam-Jawa harus berakar kuat dari ajaran agama yang menunaikan tiga aspek tadi. Tentu para founding father Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dengan mottonya dzikir, fikir, amal shaleh mengimpelmentasikan noktah-noktah tersebut.
Penutup
Ketika dalam gerakan sosial kita tidak tercerabut dari garis imajiner profetik atau susur galur kenabian, kita tidak akan menuntut hak yang berlebihan dalam konteks ini kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pasalnya, dalam menjaga kosmik, mereka sudah memiliki peran masing-masing. Peran ini yang tidak harus dipertentangkan satu sama lain.
Melihat realitas sosial di masyarakat Islam-Jawa, seharusnya kacamata yang dipakai juga Islam-Jawa, bukan memakai kacamata orang lain yang tidak sesuai keyakinan dan kebudayaan mereka. Maka, yang jadi hanyalah kesalahan, kekeliruan, dan pemintaan hak yang membuat tatanan kosmik ini berubah dan membawa kehancuran.
Seharusnya, dalam menegakkan keadilan, perempuan Jawa sudah sadar, para pendahulunya sudah mengajarkan tidak boleh tercerabut dari akarnya yakni keislaman dan kejawaaan. Bukan mengikuti konsep-konsep Barat yang justru menghegemoni dirinya sendiri.
Sesekali, kita harus meresapi teori-teori dan konsep-konsep Barat apakah sesuai dengan jati diri kita atau tidak, kalau tidak kita tinggalkan. Sebab, manusia yang baik adalah manusia yang bisa berasimilasi dengan peradaban yang selalu berubah, boleh dikata tidak semua yang datangnya dari Timur itu baik, dan tidak semua yang datangnya dari Barat itu buruk, demikian pun sebaliknya.
Makalah “Citra Diri Perempuan Jawa dan Gerak Transendental” ini disampaikan pada Sekolah Islam Gender yang diselenggarakan Kopri PMII Raden Mas Said pada hari Sabtu, 7 Januari 2023
Daftar Bacaan
1Ann Kumar, Prajurit perempuan Jawa; Kesaksian Ikhwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
2Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.
3Hamka, Falsafah Hidup, Medan: Umminda, 1981.
4Irwan Abdullah, Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang Press, 2001.
5Irfan Afifi, Saya, Jawa, dan Islam, Yogyakarta: Tanda Baca, 2019.
6Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wicana, 2006.
7Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 2022.