
Nama Jujun S. Suriasumantri (1940-2025) tidaklah asing bagi telinga kita. Ia adalah salah satu sosok penenun ilmu pengetahuan di Indonesia. Kita mengenalnya dari salah satu buku termasyhur yang berjudul Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer yang terbit pertama kali oleh Pustaka Sinar Harapan pada tahun 1984.
Dengan sematan kata “populer”, tentu lewat buku tersebut ia berharap banyak orang mau mempelajari, memahami, bahkan mendalami perihal filsafat dengan riang gembira, santai, dan penuh ketertarikan. Sebab, filsafat memiki hakikat dalam mencintai ilmu pengetahuan untuk terus menggali kebijaksanan. Jujun S Suriasumantri dan filsafat menjadi tema penting dalam diskursus di Indonesia.
Buku itu menjadi sebuah lanskap pengetahuan tersendiri di banyak kalangan. Baik itu kalangan pelajar, akademisi, peneliti, hingga masyarakat umum. Jujun Suriasumantri dan filsafat kemudian jadi dua kata yang tak bisa dipisahkan.
Melalui sistematika penulisan yang runtut, sistematis, dan mengalir menyiratkan sosok Jujun sebagai seorang intelektual–yang dalam fungsinya menjalankan tugas berupa komunikasi ilmu pengetahuan. Membaca halaman tiap halaman buku tersebut, kita diajak mengarungi petualangan dalam hutan belantara ilmu pengetahuan. Di sana kita didorong terus merambah-menjelajah seluk-beluk ilmu pengetahuan.
Jujun S Suriasumantri memfungsikan filsafat ilmu sebagai (se)perangkat untuk melakukan refleksi akan keberadaan ilmu pengetahuan. Hal itu dijabarkan oleh Jujun dalam bagian awal. Sesuatu dianggap sebagai ilmu ketika telah melewati tiga syarat: ontologi (hakikat yang dikaji), epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan), serta aksiologi (nilai kegunaan ilmu).
“Semua pengetahuan apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan dilaksanakan,” tulis Jujun S. Suriasumantri.
Baca juga: Menelisik Kembali Filsafat Islam
Selain buku utuh tentang pengantar filsafat tersebut, kita dapat menjumpai karya lain yang ditulis maupun diterjemahkannnya. Sebut saja, bunga rampai Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu (Gramedia, 1978).
Jujun menjadi penerjemah dan pemberi kata pengantar atas berbagai tulisan dari sederet nama intelektual luar negeri–yang disertai tulisan akademisi maupun intelektual dari Indonesia sendiri. Mulai dari Gilbert Highet, Bertrand Russel, Rudolf Carnap, Slamet Budi Santoso, Liek Wilardjo, Morris Kline, dlsb.
Bunga rampai tersebut menjadi wahana dialektika ilmu pengetahuan dengan lintas kajian dari berbagai pemikir ternama. Selain itu, diskursus yang ada memberikan sokongan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya dapat dijamah masyarakat secara luas. Sebab, harus diakui gagasan demi gagasan tersebut juga tersiar dalam media massa. Pasalnya, media massa sangat punya peran penting dalam upaya membumikan ilmu pengetahuan, memperkenalkan perkembangan yang terjadi di dalamnya untuk berbagai kalangan.
Tentang Etika Ilmu dan Moralitas
Jujun S Suriasumantri dikenal sebagai salah satu sosok cendekiawan yang kerap mendialogkan ilmu pengetahuan dalam lintas perspektif. Tak terkecuali pada ranah etika ilmu serta moral. Ini dapat dilihat dari makalah Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik yang disampaikan dalam perhelatan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III di Jakarta, 16 September 1981. Ia menjabarkan relasi antara ilmu dengan aspek moral, sosial, dan politik dalam skala nan luas.
Hal itu erat dengan tanyaan bagaimana tafsiran ilmu pengetahuan–khususnya kegunaan–yang kerap menjadi polemik menarik. Francis Bacon, filsuf pengukuh dasar-dasar empirisme, pernah mengemukakan gagasan knowledge is power, pengetahuan adalah kuasa. Dengan maksud penggunaan kekuasaan demi perbaikan kualitas dan meningkatkan martabat umat manusia, tentunya.
Namun, setelah setiap masa silih-berganti, arah gerak pengetahuan tak melulu digunakan pada hal-hal yang melulu baik. Melainkan dari itu, ilmu pengetahuan rentan dipelintir–yang pada akhirnya malah melahirkan ancaman dan marabahaya. Tak mengherankan ketika lewat makalah tersebut, Jujun turut menyampaikan bagaimana tanggung jawab moral ilmuwan yang terdiri dari dua aspek; tanggung jawab profesional dan tanggung jawab sosial.
Ia memaparkan bagan yang berisi asas-asas dalam tanggung jawab tersebut. Tanggung jawab profesional meliputi: kebenaran, kejujuran, tanpa kepentingan langsung, menyandarkan kepada kekuatan argumentasi, rasional, objektif, kritis, terbuka, pragmatis, dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas.
Baca juga: Polemik Tradisi Intelektual Islam Abad Kegelapan
Sementara itu, tanggung jawab sosial mencakup dua bagian. Pertama, pemilihan etis terhadap objek penelaahan keilmuan berupa asas: tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri permasalahan tentang kehidupan.
Kedua berupa penggunaan pengetahuan ilmiah meliputi asas meningkatkan taraf hidup dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan/kelestarian alam, komunal, dan universal.
Makalah tersebut kemudian termaktub dalam buku, bersanding dengan puluhan tulisan filsafat dari Jujun S. Suriasumantri–yang tersebar dalam beberapa media cetak–dan seikat tanggapan dari kalangan ilmuwan, akademisi, dan intelektual pada zaman itu. Mulai dari Sabam Sirait, Sahat Simamora, Ridwan Saidi, Karlina Supelli, Dali S. Naga, Darmanto Jatman, Bambang Eka Wijaya, Ruwihadi, dan beberapa tokoh lainnya.
Polemik maupun perdebatan silang berupa adu gagasan yang hadir menjadi menarik dalam perkembangan wacana ilmu pengetahuan. Dengan cara itu, ilmu pengetahuan terus terbuka dan memang sudah sejatinya perlu untuk ditafsirkan selaras perubahan-perkembangan. Dua cara itu yang menjadikan ilmu dan pengetahuan niscaya relevan sebagai pegangan hidup.
Pada Kamis, 6 Februari 2025, Jujun S Suriasumantri pamit meninggalkan kita untuk selamanya. Tugasnya sudah selesai atas diskursus ilmu dan pengetahuan maupun filsafat.
Kepergiannya memberi pesan bagi kita bersama bahwa warisan intelektualnya tidak boleh padam. Kita perlu terus menjaga nyala apinya, mempelajari warisan Jujun Suriasumantri dan filsafat, demi meneroka diskursus keilmuan dan menyongsong zaman penuh kebaruan.