Majalah: Perempuan dan Anak
Pembukaan Kartini School tanggal 15 Mei 1915. Foto diambil dari arsip UGM

Apakah Bunda berpikir kami tak tahu, mengapa De Echo sangat ingin memuat tulisan-tulisan kami, sekalipun masih begitu pandir? Penerbitan itu akan merupakan reklame bagi majalah itu. De Hollandsche Lelie menyediakan kolom-kolomnya bagiku, dan direktrise yang terdahulu berkali-kali meminta ijin mengumumkan surat-suratku; mengapa? Buat reklame! Surat-surat dari seorang putri Timur sejati, dari seorang “gadis Jawa tulen”, pikiran-pikiran seorang setengah biadab lagi pula ditulis dalam salah satu bahasa Eropa, duh, betapa sangat menarik?”

Ini penggalan surat bertanggal 27 Oktober 1902 yang ditulis Kartini kepada ibu intelektualnya, Nyonya Abendanon (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja: 2003). Kartini adalah pembaca dan penulis majalah-majalah berbahasa Belanda, seperti De Echo, De Hollandsche Lelie, Elsevier, Belang en Recht.

Di awal abad ke-20, pendar kemajuan itu belum bernama Indonesia sekaligus bahasa Indonesia. Kartini tentu menulis dengan bahasa Belanda yang lebih memungkinkan menyuarakan nasib kemerdekaan bangsanya.

Baca juga: Thudong: Cermin Penyucian Jiwa

Memang terdengar seperti paradoks yang murung—bahwa dengan bahasa yang tidak dikuasai oleh sebagian besar perempuan dan anak-anak di Kabupaten Jepara dan Hindia Belanda—Kartini banyak menulis tentang jati diri perempuan dan kebebasan.

Namun, Kartini pernah menghimpun dongeng-dongeng berbahasa Jawa dan Melayu untuk anak-anak pribumi—sebagai bahan pengajaran sekaligus dokumentasi kesusastraan (rakyat). Rencana keaksaraan juga sudah pernah disampaikan Kartini melalui surat-surat.

Kartini pernah menghimpun dongeng-dongeng berbahasa Jawa dan Melayu untuk anak-anak pribumi—sebagai bahan pengajaran sekaligus dokumentasi kesusastraan (rakyat)

Serpihan impian Kartini ini terbaca dalam buku Pengabadian Pahlawan Kemerdekaan Nasional Ibu Kartini (1969) oleh pemerintah Kabupaten Rembang. Terlampir cerita wayang purwo berjudul “Kongso” (1902). Meski hanya satu cerita terlampir, menunjukkan upaya Kartini menulis dengan bahasa dari dan untuk orang-orang sebangsa.

Sejak awal abad ke-20, pembacaan tentang perempuan didokumentasikan oleh pelbagai majalah yang mengarah pada satu tujuan: kemajuan perempuan. Pemikir sejarah dan budaya, Myra Sidharta, dalam esai “Majalah Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan” (Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, 1998) menafsir secara historis kelahiran (peran) media cetak perempuan berkaitan dengan zamannya.

Surat kabar Tiong Hwa Wi Sien Po (1906) dalam bahasa Melayu justru diterbitkan seorang peranakan Tionghoa, Lim Titie Nio. Salah satunya mereka menyuarakan kemajuan perempuan di bidang pendidikan. Majalah Poetri Hindia (1908)—turunan dari surat kabar Medan Prijaji pimpinan Adhisoerjo—awalnya dipimpin oleh seorang perempuan Belanda, Laura Staal. Setahun kemudian, Laura mengundurkan diri karena merasa perempuan pribumi sudah cukup maju.

Pada 1911, seorang perempuan pribumi ningrat, Siti Harainja, mengambil alih kemudi. Majalah ini masih berkesan elitis dan ditujukan bagi kalangan atas karena tampil dalam bahasa Melayu tinggi dan terkadang bahasa Belanda.

Masa-masa setelahnya, pelbagai organisasi perempuan menerbitkan majalah yang membawa perempuan semakin berperan secara sosial tanpa mengabaikan hal-hal bersifat domestik. Ada penekanan pasti bahwa untuk menjadi perempuan, istri, dan akhirnya ibu, mereka membutuhkan asupan yang cerdas dan mendidik. Pergerakan Perempoean di Medan menerbitkan majalah Soeara Perempuan dan Perempoean Bergerak.

Organisasi perempuan menerbitkan majalah yang membawa perempuan semakin berperan secara sosial tanpa mengabaikan hal-hal bersifat domestik.

Maria Ulfah Santoso sekembalinya dari negeri Belanda, menerbitkan Istri Indonesia. Di Yogyakarta, organisasi perempuan Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, menerbitkan Soeara ‘Aisjijah—kemudian berganti ejaan menjadi Suara ‘Aisyiyah .   

Pembaca Ibu dan Anak

Setidaknya sampai 1990-an, majalah masih meramaikan kehidupan perempuan, anak, dan keluarga. Ini tampak dari beragam pilihan rubrik, sisipan, ataupun iklan perbukuan yang mengasuh bacaan keluarga. Majalah Femina yang dirintis oleh Pia Alisjahbana pada 1972 misalnya, memiliki sisipan majalah anak, Bimba. Majalah Femina memang bukan berjargon “majalah keluarga”, tapi bacaan menyasar perempuan modern menengah ke atas ini tetap diisi hal-hal bersifat kerumahtanggaan.

Pada akhir tahun 70-an juga terbit majalah keluarga Zaman di bawah pimpinan redaksi Goenawan Mohamad. Zaman memiliki jargon, ‘mingguan untuk seluruh keluarga’. Kebutuhan ibu, bapak, dan anak terpenuhi melalui aneka tema dan rubrik. Yang terpenting, majalah memungkinkan mereka memiliki waktu bersama menikmati pengetahuan dan berdialog. Keluarga-keluarga Indonesia adalah pembaca majalah.

Lebih lawas, terbit majalah Keluarga (Madjalah Bulanan untuk Ibu Bapa dan Anak) di bawah asuhan Herawati Diah. Melampaui membaca, majalah juga menjadi pantikan untuk menulis seperti tampak pada surat pembaca edisi No. 7 Th. III (Djuli 1955).

Surat dari pembaca berinisial H. S di Cilacap yang kemungkinan seorang ibu mengajukan usul pada redaksi, “Redaksi jth., Keluarga adalah salah satu madjalah jang diperuntukkan Bapa, Ibu dan anak. Sajang sekali ada ketentuan dari redaksi supaja karangan² itu diketik. Mengapa tidak ditentukan sadja ,,supaja ditulis seterang²nja”. Sebab bagi seorang anak jang ingin mengirim tulisan selain belum/tidak dapat mengetik, kebanjakan tidak mempunjai mesin tik. Demikian djuga pada pembatja Keluarga umumnja jang terdiri dari para pegawai jang biasa, jang tidak dapat pindjam mesin dari kantornja. Mereka menulis itu hanja karena keburu tjinta terhadap Keluarga.”

Baca juga: Masjid Laweyan: Situs Sejarah Peradaban Islam di Surakarta

Pengirim surat menyampaikan keresahan sebagai pembaca dan orangtua. Anak bersemangat menulis di majalah Keluarga. Permasalahan teknis jangan sampai menggagalkan daya anak (belajar) menulis. Majalah menempatkan satu permulaan menuju beragam penciptaan gagasan, keinginan menulis, dan cita-cita menjadi atau melakukan sesuatu.

Bacaan-bacaan membentuk mentalitas dan identitas. Memantik rasa kemanusiaan untuk memilih wilayah peran di masa depan. Kita bisa mendapati para tokoh pada akhirnya menjadi orang-orang menentukan peran dan terlibat dalam pelbagai peristiwa kemanusiaan ataupun keilmuan karena asupan majalah di masa kecil.

Aktivis HAM Ita Fatia Nadia (Berkah Kehidupan, 2011) mengaku memiliki memori membaca Si Kuncung (saat itu masih dieja Kuntjung) di masa kecil. Orangtua Ita menjadikan buku majalah dan buku sebagai asupan penting di keluarga. Majalah menjelma tanah subur untuk memetakan cita-cita anak yang masih terang-redup memikirkan masa depan.

Minda Perangin-Angin (Bukuku Kakiku, 2004), seorang teolog Kristen dan anggota Inter-Faith Dialogue Dewan Gereja Dunia membaca majalah Si Kuncung, Kawanku, Bobo, Gadis, dan Femina dari periode SD sampai SMA. Minda juga terbiasa berbelanja buku saat menjalani studi di Amerika. Majalah-majalah itu bekal keaksaraan untuk mengambil peran dalam masalah-masalah kemanusiaan.

Indonesia memang bisa dikatakan memasuki senjakala majalah cetak. Namun, ini tidak menutup kemungkinan pertemuan pada yang lawas. Pertemuan masa lalu ini membuka pelawatan bersejarah. Ada orang-orang yang mengawali membaca dari selembar kertas bungkus tempe, sobekan koran, majalah bekas, atau buku lusuh dari loakan.

Dan beberapa lembaga pendidikan, organisasi sosial ataupun keagamaan, serta komunitas-komunitas nirlaba, masih menggunakan majalah sebagai sarana pengajaran sejak dalam keluarga.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here