
Yudi Latif dalam tulisannya berjudul “Kaidah Moderasi Beragama” menukil pidato Bung Karno pada kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945. “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’.”
Sepotong pidato tersebut menyiratkan sikap menghargai antarmasyarakat dan antarumat beragama. Sehingga memeluk agama dalam lintasan sejarah Indonesia bukan saja menjadi urusan pribadi, tetapi juga terlibat dalam urusan komunal.
Ada semacam kesepakatan umat beragama dengan upaya negara untuk menjaga kemaslahatan rakyat hingga mencerminkan kemajemukan toleransi beragama.
Dengan begitu, identitas peradaban agama di Indonesia dipengaruhi oleh cara pemanfaatan budaya sebagai insfrastruktur dalam kehidupan bernegara. Indonesia dengan keragaman budaya, ras, bahasa, dan sebagainya tak boleh dipakemkan pada dogma fundamentalis sebuah agama saja. Keragaman itu mesti direpresentasikan pada nilai-nilai moral publik yang terkristalisasi dalam Pancasila.
Layaknya keluarga, semua umat beragama harus menjaga kehangatan hubungan ini. Rumah bersama ini harus dipertahankan dengan menguatkan moderasi atas segala anasir ekstremitas beragama. Dalam pada itu, tulisan ini sebenarnya mengafirmasi opini M Taufik Kustiawan yang berjudul Masjid dan Gereja: Simbol Perdamaian Umat Beragama yang tayang di damarku.id pada 18/12/2022 lalu.
Taufik menarasikan bahwa konflik antaragama kerap berujung pada persoalan kemanusiaan. Akhirnya, ia mencoba mendaraskan sebuah contoh kecil sketsa perdamaian di Surakarta (Solo). Sketsa itu tergambar di mana Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningrat letaknya berdampingan (tetanggaan) secara geografis.
Kedekatan letak dua tempat ibadah tersebut merupakan potret harmonisasi Islam dan Kristen di Surakarta. Tak heran bilamana dalam praktiknya kedua jemaat saling menghormati pada setiap acara-acara keagamaan di antara keduanya. Setiap waktu salat, gereja akan senantiasa mendengar lantunan suara azan, begitu pun di akhir pekan, masjid akan menikmati nyanyian-nyanyian gereja.
Setiap waktu salat, gereja akan senantiasa mendengar lantunan suara azan, begitu pun di akhir pekan, masjid akan menikmati nyanyian-nyanyian gereja.
Kita bisa menelusuri lebih dalam menyoal keharmonisan beragama. Tepatnya di Desa Tambakboyo, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten—masih termasuk Karesidenan Surakarta—didapati Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pedan berhadapan dengan Masjid Al-Islam.
Satu waktu, saya berkesempatan ikut dalam sebuah forum 17-an Gusdurian Klaten yang kebetulan bertempat di GKJ Pedan. Pada saat Pendeta Ndaru (Pendeta GKJ Pedan) membeberkan kisah seorang koster gerejanya, saya menaruh keyakinan bahwa sebenarnya “kekusutan” keberagaman tak akan muncul bila kita meramu persaudaraan dengan pas, merajut kebersamaan tanpa sekat-sekat identitas.
Baca juga: Menempatkan Gagasan Gus Dur dalam (Konflik) Politik Identitas
Koster gereja tersebut bernama Wardoyo yang merupakan jemaat Masjid Al-Islam. Wardoyo selalu giat dalam tugas dan proporsi pekerjaannya. Kira-kira setelah salat Subuh di Masjid Al-Muslim, ia langsung bertolak membersihkan gereja.
Paginya, ketika jemaat Kristen tengah beribadah, Wardoyo mempersiapkan pelbagai hidangan untuk konsumsi jemaat. Bahkan di sela-sela penuturannya, Pendeta Ndaru berseleroh, “Kalau tidak ada Pak Wardoyo, kami (umat Kristen yang beribadah di GKJ Pedan) ini setiap pekannya akan kelaparan!”
Di samping bekerja di tempat ibadah umat Kristen, laku-lampah Wardoyo dengan gereja merupakan kerja-kerja kemanusiaan yang perlu kita contoh. Berbeda keimanan bukan berarti tak boleh tolong-menolong. Wardoyo secara tak disadari telah membantu memakmurkan gereja, tempat di mana saudaranya beribadah.
Cara-cara beragama dalam keberagaman berbangsa ini diperkuat oleh K.H. Said Aqil Siroj dalam bukunya Meneguhkan Peradaban Islam Nusantara (2022). Beliau membagi konsep persaudaraan dalam masyarakat dalam beberapa term. Satu di antaranya ialah ukhuwah wataniyah (persaudaraan bangsa) harus lebih didahulukan ketimbang ukhuwah islamiyah. Sebab, tanpa negara, bagaimana semua umat bisa melakukan kegiatan keagamaannya?
Wajah Kuliner Nusantara
Wajah keberagaman dan toleransi tak hanya bisa kita jumpai pada aspek internal saja, melainkan di ranah-ranah publik juga bisa. Tanpa perdebatan heroik, keberagaman itu enteng saja mengalir dengan kelumrahan yang dimantapkan sikap menghargai.
Sebagai bukti nyata, kita perlu menengok praktik keberagaman dan toleransi ini di Pasar Gede Solo. Di sana kita akan menjumpai potret kemajemukan toleransi beragama.
Tidak jauh dari pintu timur pasar kita akan menemukan pedagang Babi Kuah Pak No bersebelahan dengan pedagang Lumpia Semarang. Penjual babi tidak merasa terdiskriminasi akan bahan jajaannya, pun pedagang lumpia tak merasa risih atas keberadaan olahan babi di sampingnya.
Tak dimungkiri, kedua kuliner itu masing-masing sudah memilki pembeli dan sasarannya. Perdebatan-perdebatan tak relevan sudah sepatutnya dikesampingkan. Keduanya sudah rukun sebagai ejawantah wajah kuliner nusantara yang harus dijaga.
Baca juga: Mengingat Kembali Bahasa Simbol
Perjumpaan antarumat agama paling tidak bisa mengubah cara pandang seseorang dalam membangun sikap humanisme. Tak heran bila dalam buku Kompedium Regulasi Kerukunan Umat Beragama (2016) bahwa pengertian melindungi segenap bangsa Indonesia adalah melindungi seluruh bansa Indonesia, siapapun dia, tanpa memedulikan keturunan, suku, asal daerah, dan agama atau kepercayaannya.
Oleh karena itu, norma yang terkandung dalam Pasal 28J ayat (1) berintisari pada di samping berhak atas hak pribadinya, termasuk hak beragama, juga diharuskan tetap menghormati hak asasi orang lain.
Frasa “wajib menghormati” dalam ayat tersebut diterjemahkan bahwa sekalipun “beragama” adalah hak asasi setiap individu, akan tetapi pelaksanaannya tidak boleh sewenang-wenang atau semaunya sendiri.
Jika sikap semena-mena dan merasa selalu benar masih dipelihara, niscaya kemajemukan toleransi beragama masih jauh di angan.
Keluaran dari bunyi ayat tersebut bermaksud mewujudkan setiap orang mengembangkan sikap tenggang rasa terhadap orang lain. Sehingga anasir dasar dalam merayakan euforia kemesraan beragama baik di Indonesia maupun di dunia bisa menggunakan rumus; bermula menghormati, berujung menghargai. Mari menghormat-hargai!