
Kejatuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis memiliki dampak atas Jawa secara signifikan. Malaka, sebagai ibu kota kerajaan Melayu merupakan pusat perdagangan yang amat penting.
Pasalnya, Malaka menjadi arus kosmopolitan terbesar pada saat itu yang menjadi lalu lintas perdagangan antara Gujarat dan Benggala di Barat dan Cina di Timur dengan lintas samping ke Jawa, sebagai pemasok beras bagi lalu lintas perkapalan internasional.
Setelah jatuhnya Kasultanan Malaka, sejumlah saudagar besar dari Persia, India, Arab, dan Melayu yang beragama Islam berpindah ke pesisir Utara Jawa, diikuti dengan pemuka agama yang mata pencari kehidupannya mengikuti pola ekonomi yang berkembang di suatu daerah.
Bahkan, tidak jarang kemudian mereka menetap dan menikahi perempuan Jawa dan mendapatkan hak atas tanah setempat. Dengan demikian, golongan elit warga negara yang secara etnik beraneka ragam (plural) makin diperkuat.
Tak ayal bila dalam kurun waktu tertentu terjadi asimilasi dan akulturasi kebudayaan Jawa dan dunia Melayu di pantai Barat dan Timur Selat Malaka. Hal ini tercermin dalam perkembangan kesusastraan Jawa.
Baca juga: Sastra Jendra Hayuningrat, Sedulur Papat dan Insan Penaka
Kesusastraan Islam pesisir awal memiliki sifat non-aristokratik. Pelakunya tentu dari luar pagar istana keraton, diawali oleh para pedagang dan pengrajin yang saleh, yang bertempat di selingkaran masjid atau yang lazim disebut sebagai kauman, dan mereka yang bertempat tinggal pusat studi keagamaan atau yang disebut sebagai pesantren.
Kesusastraan Islam Pesisir
Sebagai bacaan awam, yang beredar adalah teks-teks atau prosa yang bersifat atau yang mendapat inspirasi dari Arab-Persi, yang bisa kita baca sampai hari ini seperti Serat Anbiya (Kitab Para Nabi) yang mengisahkan sejarah legendaris Islam mulai dari Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad Saw.
Tak hanya sejarah para nabi, ada pula Serat Raja Pirangon (Kitab tentang Raja Fir’aun) mengenai raja Mesir yang kejam, meskipun dihukum berat oleh Allah Swt, tetapi tidak mau melepaskan rakyatnya bani Israil.
Sekalipun begitu, tidak hanya beredar cerita yang bernafaskan keagamaan, ada juga cerita romantis yang diminati bahkan disukai kalangan perkumpulan Islam pada saat itu seperti Serat Johar Manikam, sebuah cerita tentang Putri Baghdad yang telah melalui pengembaraan panjang lalu menikah dengan Sultan Syiria.
Teks ini rupanya tidak hanya termasyhur di Pesisiran Jawa, melainkan juga tumbuh berkembang di Melayu dengan sebutan Serat Ahmad Muhammad yakni serat yang berisi persaingan dan cemburu antara dua saudara. Bahkan cerita Abu Nawas yang digemari oleh kebudayaan tadi, Melayu dan Jawa. cerita ini berlatar pada pemerintahan Harun al-Rasyid.
Serat Yusup, yang tentu tidak asing di telinga umat muslim, bahkan sampai saat ini masih bisa kita nikmati, merupakan perpaduan unsur-unsur romantis dan keagamaan. Bagi J.J Ras, meskipun cerita ini dituturkan dari al-Quran, di sini jelas diusahakan untuk memberinya bentuk khas kesusastraan Jawa, yakni dalam format tembang macapat (J.J. Ras, 2014: 250).
Baca juga: Pendidikan, Buku, dan Ilmuwan
Ketika kita cermati secara mendalam terdapat pengaruh Cerita Panji dari zaman pra-Islam. Tidak hanya Cerita Yusup yang digubah dalam tembang Jawa, ada Serat Raden Saputra, Serat Abdurrahman Abdurrahim, bahkan yang lebih kentara kejawaannya terdapat dalam Serat Jatikusuma.
Serat Jatikusuma membentangkan kisah seorang anak raja di kerajaan Asmara-Kandi di negeri jazirah Arab yang tidak mau menikah karena ia jatuh cinta kepada putri yang tidak seiman, yang mendatanginya dalam suatu mimpi. Ia mempunyai dua orang Punakawan yang selalu menemaninya.
Cerita memuat banyak bagian didaktis dalam bentuk dialog mengenai tapa atau asketis, perbedaan antara lahir dan batin dan di samping itu gambaran petualangan-perjalanan dan peperangan. Bahkan dalam teks Jawa asli terdapat Serat Jatiswara, sebuah roman pengembaraan yang ditulis dalam bentuk puisi. Teks ini tidak hanya dikenal di Jawa melainkan juga sampai ke Bali dan Lombok.
Kesusastraan Pesantren
Lingkup pesantren yang bersifat ortodoksi, pastilah kesusastraan yang di bawa oleh para ahli agama dari Malaka dan Sumatera Utara yang dipelajari dengan penuh perhatian. Dari pusat studi keagamaan inilah muasalnya dua teks keagamaan Jawa Baru tertua dan paling otentik yang dimiliki sampai kini.
Kedua teks itu, pada abad ke-16 dibawa ke Eropa oleh para pelaut yang menganggap itu sebagai didaktis penting nan ilmiah. Pertama adalah suatu Primbon, yakni semacam catatan keagamaan ringkas berdasar pelajaran dari seorang guru sufi ortodoks, kedua berupa Peringatan Seh Bari yang disebut sebagai Kitab Bonang.
Peringatan Seh Bari, merupakan kitab didaktis yang berisi perdebatan mengenai batas-batas mistik Islam. Kitab ini diterangkan berupa prosa, jadi bukan kesusastraan yang diartikan sebenarnya. Bahkan jangkar bahasanya tidak jauh dari Pararaton atau Kitab Raja-raja Singhasari dan Majapahit. Di sini, saya akan kutipkan bagian awal dari naskah Peringatan Seh Bari mengenai peneguhan diri seorang muslim sejati.
Iki si lafal, tinkahin anekseni in Paneran, wa-ashhadu an la ilaha illa’llahu, wahdahu la sharika lahu. Wa-ashadu Anna Muhammadan rasulu’llahi. Tegese iku insun anakseni, kaananin Pangeran, kan nama Allah, kan sifat sadya, langen kekel, wibuh sempurna, purba kadi, sifatira mahasuci, oranana Paneran sabenere, anin Allah uga Paneran kan sinembah, sabenere kan agun: kalawan insun anekseni yan baginda Muhammad kawulanin Allah kan sinihan, inutus agama Islam, iya iku inkan tinut denin nabi, wali mukmin kabeh.
Hal ini bagian awal ajaran Sek Bari demi mengajak seseorang untuk masuk agama yang dibawa oleh kanjeng Rasul, sekaligus untuk peneguhan iman dan Islam seorang muslim.
Hal ini bagian awal ajaran Sek Bari demi mengajak seseorang untuk masuk agama yang dibawa oleh kanjeng Rasul, sekaligus untuk peneguhan iman dan islam seorang muslim.
Pada awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa, terdapat suatu perdebatan yang tidak berkesudahan antara ortodoks-heterodoks. Khususnya perdebatan mengenai hubungan antara khalik dan makhluk yang menjadi pokok diskusi teologi Islam awal di tanah Jawa.
Pantulannya kita bisa temukan dalam Serat musawaratan para wali yang diturunkan dalam bentuk bait-bait puisi. Masuknya faktor politik dalam pertikaian mengakibatkan tokoh-tokoh terkemuka menjadi korban, satu di antaranya Syaikh Siti Jenar yang dianggap-dituduh menyebarkan paham sesat.
Ada pula Suluk Wala Sumirang. Suluk ini menjadi genre pertama dalam kesusastraan pesisir yang mengalami perkembangan yang cukup signifikan yakni menjadi suatu Suluk.
Suluk adalah puisi dalam macapat yang mengandung penjelasan mengenai pokok-pokok mistik. Tidak hanya Suluk Walang Sumirang, terdapat juga Suluk Wijil yang mengisahkan mengenai Sunan Bonang dan muridnya Wujil. Berbagai macam genre sastra sufistik ini, menjadi ajaran dan pewulang yang ditekuni secara mendalam bagi pelaku esoteris Islam.
Melihat begitu banyaknya macam genre sastra keislaman yang lahir di daerah pesisir pada rentang masa itu menandakan begitu tumbuh subur kebudayaan Islam.
Seiring berjalanannya waktu, ragam kesusastraan ini kelak akan mempengaruhi daerah selatan Jawa yang dipoles sedemikian rupa oleh para raja dan pujangga di dalam dinding keraton, baik dari mulai Mataram Islam sampai kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Ragam kesusastraan ini kelak akan mempengaruhi daerah selatan Jawa yang dipoles sedemikian rupa oleh para raja dan pujangga di dalam dinding keraton, baik dari mulai Mataram Islam sampai kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Walakin, dari sekian banyak judul kesusastraan Islam yang dulu diwedarkan, termasuk kesusastraan Islam pesisir awal, sampai detik ini mungkin tidak semua lembaga pendidikan keagamaan Islam—dalam konteks ini—pesantren dan kompleks pemukiman agama (Kauman) yang masih memendarkan, mendalami, dan menyalin naskah-naskah Islam awal tadi.
Sekiranya jarang, hari ini kita menemukan para pengkaji dan mengaji yang menekuni sederet kesusastraan Islam pesisir awal sebagaimana dibahas di atas. Dengan begitu, benar kiranya, hari ini kita telah kehilangan jati diri kita yang sesungguhnya. Kita telah terpental jauh dari akar ke-diri-an yang genuine ala Islam Nusantara. Tabik!