Di kawasan pesisir utara Jawa Tengah (Pantura), terdapat sebuah desa bernama Selo, yang berada di wilayah Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Desa ini, sejak masa lampau, telah dikenal luas sebagai salah satu pusat dakwah Islam yang memiliki pengaruh cukup besar di kalangan masyarakat pedesaan.

Identitasnya sebagai sentra pengembangan nilai-nilai Islam bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba, melainkan telah berakar kuat jauh sebelum bangsa ini meraih kemerdekaannya. Sejarah mencatat bahwa sejak awal abad ke-20, bahkan sebelum tahun 1935 Masehi, Desa Selo telah menjadi ladang subur bagi berkembangnya berbagai aktivitas keagamaan. Kehidupan religius masyarakatnya kala itu tumbuh berkat peran serta para ulama kharismatik yang menjadikan desa ini sebagai pusat penyemaian dakwah Islam.

Salah satu tokoh besar yang menjadi pionir dan peletak dasar perkembangan Islam di Desa Selo adalah KH. Muhammad Nur Nashuha (ada yang menyebutnya Nashoha) bin KH. Syihabudin bin KH. Khatibanon. Beliau adalah sosok ulama berwibawa yang tidak hanya dikenal karena keilmuannya yang mendalam, tetapi juga karena pengabdian tulusnya dalam membina umat.

KH. Muhammad Nur Nashuha menempuh jalan dakwah melalui jalur pendidikan non-formal berbasis pesantren, sebuah model pendidikan Islam tradisional yang berperan penting dalam mencetak generasi santri berilmu dan berakhlak. Kepribadian beliau mencerminkan sosok alim yang luas pengetahuannya, zuhud dalam menjalani kehidupan, serta penuh dedikasi dalam menegakkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat.

Dedikasi beliau dalam mendidik tidak terbatas pada transfer ilmu semata. Lebih dari itu, KH. Muhammad Nur Nashuha menekankan pentingnya pembinaan akhlak, pembentukan karakter, serta penanaman nilai-nilai keilmuan yang kokoh. Para santri yang datang dari berbagai penjuru Grobogan dan daerah sekitarnya tidak hanya diajari membaca dan memahami kitab-kitab klasik (kutub al-turats), melainkan juga digembleng menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan berjiwa pejuang.

Perjalanan intelektual beliau merupakan kisah panjang pencarian ilmu yang penuh ketekunan. Sejak usia muda, KH. Muhammad Nur Nashuha telah meninggalkan kampung halamannya demi menimba pengetahuan di berbagai pesantren besar di Jawa. Beliau berguru kepada ulama-ulama terkemuka yang pada masanya dikenal sebagai rujukan ilmu syariah dan tasawuf.

Baca juga: Penjarahan dan Perusakan Saat Demo Haram Secara Syariat

Jejak pengembaraan ilmunya kemudian berakhir di Bangkalan, Madura, di mana beliau berkesempatan untuk berguru langsung kepada ulama karismatik yang sangat masyhur, KH. Kholil Bangkalan, seorang wali yang menjadi guru bagi banyak ulama besar di Nusantara.

Tidak berhenti sampai di situ, semangat menuntut ilmu membawa KH. Muhammad Nur Nashuha melanjutkan perjalanan intelektualnya ke tanah Arab. Dalam kurun waktu yang panjang, beliau menimba ilmu langsung di pusat peradaban Islam, menyelami khazanah keilmuan dari para masyayikh dan ulama besar Timur Tengah. Pengalaman ini memperkaya wawasannya, memperdalam penguasaan ilmunya, dan memperteguh kepribadiannya sebagai seorang ulama pejuang.

Kelak, bekal inilah yang dibawa pulang ke tanah air untuk kemudian ditransformasikan ke dalam tradisi dakwah dan pendidikan pesantren di Desa Selo. Dari sinilah lahir warisan besar KH. Muhammad Nur Nashuha, yakni sebuah pesantren yang tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga pusat pembentukan generasi penerus Islam yang berilmu, berakhlak, dan memiliki semangat juang untuk membela agama dan bangsa.

Aktivitas dakwah dan pendidikan KH. Muhammad Nur Nashuha dijalankan secara intensif melalui pesantren yang beliau rintis, yang kemudian menjadi embrio Yayasan Sunniyyah. Sistem pendidikan yang diterapkan terbagi dua jenjang, yakni tingkat Ibtidaiyyah untuk membekali santri dengan dasar-dasar keislaman, dan tingkat menengah yang fokus pada pengkajian kitab-kitab klasik. Metode pengajaran sorogan dan wetonan beliau pertahankan hingga akhir hayatnya pada 1934 M, sebagai bentuk keteguhan menjaga tradisi pesantren sekaligus resistensi terhadap sistem pendidikan kolonial.

Pilihan ideologis KH. Nashuha yang menolak model pendidikan ala Belanda menjadikan pesantrennya tidak sekadar pusat ilmu agama, tetapi juga benteng identitas Islam dan nasionalisme. Perjuangan ini kemudian dilanjutkan melalui Yayasan Sunniyyah, yang dibentuk untuk menjaga kesinambungan dakwah dan pendidikan berbasis Ahlussunnah wal Jama’ah.

Sepeninggal beliau, nilai dan semangat yang ditanamkan terus diwariskan oleh murid serta penerusnya, sehingga perjuangan KH. Nashuha tidak hanya dikenang, tetapi tetap hidup dalam karya pendidikan Islam di Desa Selo dan sekitarnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Al Faqih Selo, KH. Fahrurozi Midkhol, menuturkan bahwa kiprah KH. Nashuha sangat erat kaitannya dengan jaringan ulama besar Nusantara. Salah satu kisah penting yang disampaikannya adalah pengalaman mendampingi KH. Hasyim Asy’ari saat bersilaturahmi kepada KH. Nashuha.

Kunjungan tersebut bukanlah pertemuan biasa, melainkan bagian dari proses musyawarah penting terkait dawuh KH. Kholil Bangkalan mengenai pendirian jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Dalam pertemuan itu, KH. Hasyim Asy’ari mengajak sekaligus meminta pandangan KH. Nashuha terkait gagasan besar mendirikan organisasi keagamaan yang kelak menjadi penopang utama Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia.

KH. Nashuha memberikan dukungan penuh terhadap rencana tersebut. Meskipun beliau tidak berkenan masuk dalam jajaran kepengurusan, sikap dukungan moral dan intelektualnya memperlihatkan kelapangan hati dan keluasan pandangan seorang ulama yang lebih mengutamakan maslahat umat daripada posisi pribadi.

Hal ini membuktikan bahwa hubungan para ulama tidak hanya sebatas guru dan murid, melainkan terjalin pula ikatan persahabatan yang tulus, saling mendukung, serta saling menopang dalam perjuangan dakwah. Kehadiran KH. Nashuha dalam momen penting itu menunjukkan bahwa jejaring keilmuan dan spiritualitas ulama Nusantara adalah pilar utama dalam kelahiran dan keberlangsungan NU.

Selain aspek keilmuan dan kontribusinya dalam dakwah, kisah tentang keistimewaan spiritual atau karomah KH. Nashuha juga banyak dituturkan oleh para ulama setelahnya. KH. Mahalli Selo, misalnya, mengisahkan bahwa KH. Nashuha dikenal sebagai sosok yang sulit atau selalu gagal difoto, sebuah karomah yang memperlihatkan keistimewaan spiritual beliau.

Baca juga: Ponpes Raudlatul Muhibbin Gelar Dauroh Ilmiah Bersama Prof. Yahya Al Kattani

Kisah ini hanyalah salah satu dari sekian banyak karomah yang diyakini melekat pada diri beliau, menambah kewibawaan dan aura kharismatiknya di mata para santri dan masyarakat. Karomah-karomah tersebut dipandang bukan semata-mata sebagai fenomena mistis, melainkan tanda kedekatan seorang hamba dengan Allah SWT serta keberkahan ilmu dan amal yang dijalankannya.

Pengaruh KH. Nashuha terus hidup hingga kini, baik melalui lembaga pendidikan yang beliau rintis, melalui kiprah dakwah yang masih dilestarikan, maupun melalui para murid dan generasi penerus yang menyebarkan ajaran dan keteladanannya di berbagai penjuru Nusantara. Murid-murid beliau banyak tersebar di berbagai daerah, di antaranya ulama besar Syaikh Muhammad Dahlan Al-Mutamakkin di Truwolu, Ngaringan, Grobogan, yang menjadi salah satu tokoh penting dalam melanjutkan tradisi intelektual dan spiritual gurunya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa KH. Nashuha adalah salah satu mata rantai penting dalam sanad keilmuan Islam Nusantara yang menghubungkan pesantren, masyarakat, dan organisasi Islam besar seperti NU.

Ketua Yayasan Sunniyyah Selo, KH. Imron Hasani, menjelaskan bahwa KH. Muhammad Nur Nashuha merupakan seorang ulama yang memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa. Beliau dikenal tidak hanya sebagai sosok alim dan zuhud, tetapi juga memiliki hubungan erat dengan para tokoh besar ulama Nusantara.

Salah satu catatan penting adalah bahwa KH. Muhammad Nur Nashuha pernah menjadi teman mondok dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, sehingga sanad keilmuannya terhubung langsung dengan jejaring ulama pesantren terkemuka di Indonesia. Kisah hidup KH. Muhammad Nur Nashuha adalah bukti bahwa kekuatan dakwah dan pendidikan Islam tidak hanya terletak pada gagasan besar, tetapi juga pada teladan moral, keteguhan spiritual, serta kemampuan membangun jejaring persaudaraan di antara para ulama.

Dari ketulusan persahabatan dengan KH. Hasyim Asy’ari hingga keberkahan karomah yang dimilikinya, KH. Nashuha tetap menjadi sosok yang dikenang sebagai ulama penggerak dakwah dan pendidikan Islam, sekaligus penjaga tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah di bumi Nusantara.

Bagikan
Dosen Ilmu Hukum Fakultas Tarbiyah dan Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, Pengurus LPBH PWNU Jawa Tengah dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Muhibbin Al Mustainiyyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here