
Joko Priyono dalam satu esai panjang di buku tipis Alam Semesta dan Kebudayaan Berpengetahuan merentangkan symptom-symptom yang muncul dalam ranah politik demokrasi, keseimbangan ekologi, sampai teks-teks sastrawi. Joko Priyono seperti mengajak pembaca tamasya keliling fenomena.
Mula-mula pembaca bakal beroleh konsep tilikan – biar tak menyebutnya “kerangka berpikir” – dari Joko Priyono, sebagai penulis, guna melihat tren Joko Widodo semasa menjabat sebagai presiden di negara Indonesia—yang kerap menanyakan nama-nama ikan pada murid-murid sekolah pas kunjungan kerja.
Joko Priyono menyitir Elizabeth Kolbert, penggubah buku Kepunahan Keenam, perihal cara pandang umat manusia yang kelewat antroposentris. Gagasan ini sesungguhnya mendisposisikan manusia sebagai sentral, puncak paling tinggi dari piramida kehidupan; manusia adalah tokoh dan pokok. Paling penting!
Berangkat dari pandangan manusia sebagai pusat semesta, sering manusia menundukkan dan mengambil apa-apa yang berada di alam. Persetan dengan konsekuensi jangka panjang yang timbul-menyembul dari sifat serakah tak kenal puas, manusia menerabas batas & mengabaikan bahaya di depan mata. Seperti yang, kita tahu, belakangan ini menimpa sebagian besar wilayah di tiga provinsi di Pulau Sumatra.
Baca juga: Meneladani Kanjeng Nabi: Agama sebagai Pembebas, Bukan sekedar Penenang
Dengan segenap dalil, hasrat menjelajah, dan alat canggih, manusia berhasil menduduki tanah dan mengeruk sumber daya di planet bumi – sampai-sampai mengubah lanskap lingkungan.
Tak ayal apabila para pembesar dan konglomerat dunia berlomba-lomba merebut daerah yang konon katanya punya kekayaan alam melimpah, entah minyak, emas, nikel, atau perak. Mereka berusaha untuk mengebor perut bumi supaya memuntahkan apa-apa yang bernilai tinggi & tersimpan di bawah permukaan.
Menjenguk Mitos
Pada abad ke-21 sekarang ini, barangkali sudah tak ada lagi tempat yang belum tersentuh-terjamah oleh umat manusia. Segala wilayah telah terungkap oleh para penakluk (conquistador).
Saat segala rahasia alam nyaris terbongkar, dan manusia mulai amat berjarak dari alam yang sakral lagi luhur, barangkali sumber terbaik untuk kembali meniti jalan ekologis adalah melalui mitos. Sesuatu yang berada jauh di masa lampau, tersimpan di laci sejarah dan terwariskan melalui cerita-cerita dari leluhur.
Joko Priyono menarik pembaca untuk menelisik mitos-mitos yang melingkari komunitas manusia. Penulis buku Bersadar pada Sains ini pun memberi aksentuasi pada mitos dan logos sebagai sandaran ejawantah. “Keduanya sama-sama penting di dalam memahami realitas.”
Baca juga: Kesurupan Tuhan dan Bahaya Merasa Paling Benar
Sebagai periset independen dan penekun sains, barangkali Joko Priyono tak ingin terjebak semata-mata pada sains yang menyilaukan mata atau mitos yang membutakan pandangan. Joko Priyono agaknya hendak berusaha menghindari dualisme atau pretensi antagonistik dari kedua hal tersebut-sebut. Ada semacam seruan untuk mendisposisikan logos dan mitos sebagai suatu yang berjalan beriringan, tak saling berpunggungan.
Agustinus Wibowo dalam Kita dan Mereka: Perjalanan Menelusuri Akar Identitas dan konflik Manusia (2024) menyebut, “mitos menekankan pada kepercayaan, yang dalam kosakata religius disebut iman. Dogma harus diimani sebagai kebenaran mutlak yang abadi sepanjang masa dan tak boleh dipertanyakan… Sebaliknya, sains justru didasari sikap meragukan segala sesuatu, pengakuan bahwa masih begitu banyak hal yang belum diketahui tentang realitas semesta…”
Walakin, mitos dengan seikat cerita yang dibawanya bisa mencipta realitas, demikian juga sains – dengan sodoran fakta-fakta objektif. Dan kita selayaknya menempatkannya dalam tempat yang tepat.
Menawar Ikan
Setelah mengajak pembaca menilik fenomena kiwari sekaligus tendesi dari presiden Joko Widodo, Joko Priyono menawarkan ide alternatif dari – semacam filosofi – ikan lele. Ya, ikan lele. Saat dunia kelewat sok adiluhung sekaligus riuh oleh suara sound horeg, kecipak lele layak mendapat perhatian & renungan. Belum lagi orang-orang yang memelihara ikan lele dengan tulus atau bahkan mengamalkan jalan hidup bak lele.
Saya kutip separuh kutipan yang dikutip Joko Priyono dari buku Kiat Sukses Hancur Lebur ciptaan pengajar filsafat Martin Suryajaya. “… Lele adalah juga simbol orang tawakal, menerima apa saja, berserah diri pada sang pemberi alias memakan apa saja: bersih maupun kotor, halal ataupun haram, yang dulunya baik budi atau yang dulunya jahat bukan kepalang, mantan orang saleh atau mantan begal, entah wangi atau busuk.”
Dengan acuan hewan berkumis & berisirip tajam ini, Joko Priyono naga-naganya mengambil ilham pada apa-apa yang berada di sekitar, yang remeh atawa sepele, yang lebih sering luput, di akar rumput, sebagai daya hidup, lalu menawarkannya pada sidang pembaca. Ya, sidang pembaca. []
Judul Buku: Alam Semesta dan Kebudayaan Berpengetahuan: Politik Ikan Jokowi, Omon-omon Kekuasaan, dan Hilangnya Imajinasi Kita
Penulis : Joko Priyono
Penerbit : Press Mesin
Cetakan : Pertama, September 2025
Tebal : vi + 55 halaman






