Thudong: Cermin Penyucian Jiwa
Dokumentasi diambil dari Tempo

Pada 4 Juni lalu, masyarakat dunia berada dalam momen peringatan hari raya Waisak 2023, tak terkecuali Indonesia. Orang-orang tampak begitu antusias menyambut hari raya agama Buddha tersebut. Tentu saja, gelombang euforia ini sangat berbeda dengan hari raya Waisak di tahun-tahun sebelumnya.

Hal ini tak lain karena adanya rombongan bhikkhu dari Thailand yang berjalan kaki ribuan kilometer menuju Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Terik matahari dan debu-debu jalanan yang berterbangan menjadi teman setia perjalanan para bikkhu tersebut. Perjalanan 32 bhikkhu ini merupakan napak tilas pertapaan religi agama Buddha dalam mengarungi dan menanam ajaran-ajaran Budhisme.

Terik matahari dan debu-debu yang berterbangan menjadi teman setia perjalanan para bikkhu

Di sepanjang jalan kota yang dilewati rombongan bhikkhu, terlihat berjejer-jejer masyarakat Indonesia menyambut dengan hangat kedatangan mereka sampai di area Candi Borobudur. Baru kemudian, istilah thudong mulai melekat dan tak begitu asing di telinga masyarakat Indonesia.

Perjalanan religious para bhikkhu dari Thailand tersebut sebenarnya mencandrakan makna filosofi yang dalam, bukan hanya bagi kalangan pemeluk agama Buddha, tetapi juga masyarakat Indonesia secara umum.

Secara filosofis, dalam tradisi thudong, terdapat tiga esensi utama dalam tujuan akhir perjalanan tersebut; dari pakaian, tempat tinggal, sampai makanan. Para bhikkhu yang menunaikan thudong, punya harapan untuk melepaskan diri dari hal-hal duniawi yang melekat. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah menghancurkan kotoran batin dan jiwa, serta menjauhi rasa sombong, serakah, dan malas guna menuju pencapaian kedamaian sejati (Devinda, 2007).

Baca juga: Memahami Takdir Teologis

Bagi para bhikkhu, tradisi thudong dianggap sebagai sebuah ziarah suci menjelang perayaan hari raya Waisak. Pada hakikatnya, napas utama tradisi thudong diamanatkan sebagai upaya untuk napak tilas perjalanan kehidupan Sang Budha dan ajaran Dhamma. Berkat adanya euforia thudong di masyarakat Indonesia, selain sebagai cermin penyucian jiwa, juga menjadi ajang belas kasih dalam menyemai nilai-nilai humanisme.

Tak heran, banyak tokoh agama maupun ulama besar di Indonesia begitu santun dan ramah menyambut kedatangan rombongan bhikkhu tersebut. Salah satunya adalah Habib Luthfi bin Yahya. Ulama terkemuka dari Pekalongan ini amat terbuka hingga mempersilakan rombongan bhikkhu mampir sejenak untuk bersilahturahmi. Perihal kemanusiaan, tampaknya tak jadi soal jika beragam dan beda keyakinan—yang seharusnya bisa menjadi poin plus.

Tokoh budhisme dan aktivis kemerdekaan asal India, Mahatma Gandhi, pernah menyampaikan bahwa ia lebih memperhatikan perbaikan soal kemanusiaan, daripada hendak mencapai tujuan-tujuan politis. Sebab apakah untungnya bagi manusia, apabila kedudukannya naik, sedangkan nilai pribadinya tidak naik (Louis Fischer: 1966).

Lantas, selain nilai kemanusiaan dan keberterimaan yang direpresentasikan masyarakat Indonesia, dan keramahan yang dilakukan oleh Habib Luthfi bin Yahya, bagaimana kaca mata Islam memandang tradisi thudong sebagai jalan penyucian jiwa?

Nilai-nilai perjalanan spiritual agama Buddha sebenarnya tidak jauh dengan nilai-nilai tazkiyatun nafs. Dalam ajaran Buddha, para bhikkhu menjauhkan diri dari tiga dosa utama, yaitu keinginan (nafsu), kemarahan (amarah), dan kebodohan.

Baca juga: Islam dan Kebudayaan di Banten

Dalam agama Islam, tertuang dalam kitab Bidayatul Hidayah yangmenjelaskan bahwa Al-Ghazali mendefinisikan tazkiyatun nafs sebagai usaha penyucian diri dari berbagai sifat memuja dan mengagung-agungkan diri sendiri.

Al-Ghazali memiliki pandangan bahwa penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dapat dilakukan melalui proses menghilangkan sifat-sifat tercela, diiringi dengan makna yang mendalam dan filosofis dari pelepasan sifat-sifat binatang dan setan, lalu mengisi jiwa dengan akhlak ketuhanan (rabbaniah). Maka dari itu, ajaran Islam juga memiliki jalan menuju penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela.

Bila agama Budha melalui tradisi thudong, dengan perjalanan spiritual berupa pertapaan maupun perjalanan jauh menuju candi atau tempat sakral yang disucikan, sebenarnya sama halnya dengan agama Islam, yang memiliki jalan spiritual menuju penyucian jiwa yang dihaturkan kepada Allah SWT.

Dalam tazkiyatun nafs, Ibnu Sina menuturkan bahwa jiwa merupakan perwujudan rohani yang tempatnya berada di dalam raga manusia, sebab dari jiwa tersebut, seseorang mampu mengendalikan tubuh dan gerak-geriknya, kemana ayunan kaki menuju dan sejauh mana jari-jemari tangan menyentuh.

Antara thudong dan tazkiyatun nafs, meski keduanya dalam konteks keyakinan memiliki koridor yang berbeda, tetapi keduanya memiliki sisi religius yang dapat kita tuai hikmahnya.

Sebagai hamba Allah SWT, kita perlu menyadari kekotoran dan kegersangan jiwa-jiwa yang terlampau terbengkalai tak terurus, seperti rumah yang sudah lama tak dihuni, atau kaca yang terhalang debu pekat sampai tidak bisa memantulkan benda-benda.

Melalui refleksi tradisi agama Hindu, kita sebagai umat Islam Indonesia pada akhirnya sebisa mungkin memetik ajaran kemanusiaan dan penyucian jiwa.

Momen thudong tersebut belum tentu akan terhelat kembali tahun depan di Indonesia. Seyogyanya masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, patut bersyukur. Berkat perjalanan para bhikkhu tersebut kita bisa mengambil ajaran humanisme. Sebab pada tataran paling fundamental, thudong merupakan cermin penyucian jiwa bagi kita semua.

Pada tataran paling fundamental, thudong merupakan cermin penyucian jiwa bagi kita semua.

Dengan begitu, tidak luput dari sorotan warga dunia, Indonesia akan merajut simpul keberagaman dan pelan-pelan mengamalkan sikap toleran, mengingat meledaknya beberapa kasus intoleransi yang sangat sering terjadi di Indonesia.

Besar harapan saya, momen-momen kerukunan antarumat beragama semakin memancar dan berhasil menyejukkan hati. Bermula dari sikap toleran dan saling menghormati, tentu jaminan akan kedamian dan rasa tenteram setidaknya bisa utuh dipegang. Dhamma yang indah di awal, tengah, dan akhir, dalam makna dan kata yang benar.

Kita harus sama-sama yakin bahwa sebagai bagian dari kosmos, manusia adalah instrumen pembawa kedamaian umat. Saat tercapainya kedamaian umat, barangtentu pembekalan jiwa dirasa sangat perlu. Manusia yang berjiwa bersih adalah mereka yang akan membawa kabar gembira kepada umat mengenai kedamaian. Sampai pada akhirnya, segala usaha untuk menempuh perjalanan religious adalah hakikat utama guna meraih ridha Tuhan Yang Maha Esa.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here