Kerusakan Lingkungan
Ilustrasi diambil dari pngtree.com

“Alam tak pernah mau ditawar”

Dorothea Rosa Herliany, Isinga (2015), hlm. 114.

Jika dianalogikan raga manusia, belahan bumi pasti sudah ringkih dan tak kuat lagi menopang beban hidup, bernapas ngos-ngosan, bergerak tertatih-tatih minta ampun. Jika ada orang terdekat yang merawatnya, harus punya kesabaran Nabi Adam. Musababnya, belakangan ini alam Indonesia khususnya mengalami kerusakan lingkungan yang sangat parah.

Kerusakan lingkungan berlangsung secara mikro maupun makro, menumpuk sebagai serentetan akibat dari satu peristiwa pengrusakan ke peristiwa lain. Babak-babak pencemaran yang sudah bergulir lama ini, tinggal menunggu saja waktu yang tepat untuk meledak, melahirkan dampak yang hebat dan mungkin belum diperkirakan.

Bila ditelisik mundur, alam selalu saja berusaha ditundukkan oleh akal rasio dan kuasa manusia. Penjelajahan alam mulanya menimbulkan rasa pesona, menyeruak di dada. Namun kemudian, rasa pesona diambil alih oleh kehendak untuk menjadi apa-apa dari alam sebagai komoditas, yang punya daya jual—tidak hanya nasional, tetapi global yang menyebabkan kerusakan lingkungan semakin akut. Penguasaan alam punya pamrih untuk menjarah sumber daya dan diolah demi memutar roda perekonomian bercorak kapitalistik.

Kerusakan terjadi akibat eksploitasi dan penjarahan dalam skala yang masif dan luas. Selama ini, hanya ada beberapa yang berhasil mencuat, tetapi ada sekian lagi yang masih melakukan usaha dan belum kena sorotan mata/kamera.

Tindakan perusakan lingkungan ada di berbagai daerah, bukan hanya di kawasan periferal yang sebenarnya kaya sumber daya, tetapi juga ada di pusat-pusat kota. Efek dari kerusakan alam ini hadir tidak pandang bulu. Semuanya menyisakan jejak karbon—yang mengalir sampai jauh.

Satu di antara sekian persoalan kerusakan lingkungan—yang lagi naik daun, dan kebetulan juga ada di pusat negara—adalah pencemaran polusi. Polusi di Jakarta sudah benar-benar tidak wajar. Beberapa citra satelit menunjukan adanya kabut putih yang melingkungi langit Jakarta. Bahkan pada siang hari, kabut ini tampak oleh bola mata.

Jika kita memandang langit dari sebuah lantai gedung yang agak tinggi, kita akan lekas menemuinya. Ini mencandrakan tingkat pencemaran sudah jauh melebihi batas aman bagi makhluk hidup; manusia, hewan dan tetumbuhan.

Koran Tempo edisi 16 Agustus 2023 mewartakan polusi di Jakarta sudah parah. Pemerintah sampai kelimpungan. Indeks kualitas udara di Ibu Kota berada di angka 144. Sedangkan Tangerang memiliki indeks kualitas udara 145, yang artinya sangat tidak sehat bagi kelompok sensitif.

Pencemaran alam, entah di tanah, air, atau udara, senantiasa meninggalkan jejak yang tak melulu ada di lingkungan fisik, tetapi juga ada pada teks-teks susastra. Beberapa penyair muda kontemporer merekam persoalan lingkungan ini dalam bait-bait puisi.

Puisi menandakan penghormatan dan keberpihakan pada alam. Adanya puisi jadi perpanjangan tangan bagi alam yang tak bisa bersuara atau melakukan gugatan—yang lekas-lekas diperhatikan manusia.

Lugas Ikhtiar dalam buku Perabotan & Ingatan (Interlude, 2022) menulis puisi dengan judul Memoar Hujan. Puisi mengajak pembaca mula-mula memikirkan persoalan agraria dan ketahanan pangan lokal, sebelum beranjak ke perkara lingkungan yang lebih kompleks.

masihkah sawah-sawah itu/ memberkati kami/ runduk padi-padi?/ “jangan lagi bergantung/ pada pulen nasi.// kita toh punya siasat/ dalam gembur ketela ubi” (Ikhtiar, 2022: 34)

Lugas Ikhtiar membuka puisi dengan sebait pertanyaan bernada eksistensial, perihal masihkah sawah, dengan hamparan tanah sebagai satu-satunya tempat padi bertumbuh, memberkati tanaman yang lazim ada di sana: padi. Pertanyaan ini muncul saat tanah-tanah di sawah tak lagi ditumbuhi padi, melainkan beton.

Sekalipun sepetak tanah memberkati… runduk padi-padi, pasti kini ada saja pestisida yang dituai untuk mempercepat proses pertumbuhan, yang mempengaruhi jaringan dalam tanaman, dan sayangnya, mencemari unsur tanah—hingga kelak tidak akan selalu memberkati

Baca juga: Kondisi Iklim, Keberlanjutan Ekologi dan Kritik (lewat) Musik 

Urusan bahan pangan, dalam hal ini padi, tentu saja dipasok oleh lumbung-lumbung padi yang tersebar di pelbagai wilayah di Indonesia. Cadangan beras yang sering tidak mencukupi hanya dipikul oleh lumbung-lumbung padi, mengakibatkan Indonesia butuh mengimpor beras.

Swasembada pangan tinggal omong-kosong dan klangenan rezim militeristik Orde Baru. Politik pangan yang sukses mendisposisikan nasi ada di puncak piramida tertinggi, sampai ada kebiasaan, “belum makan kalau belum makan nasi”.

Penempatan nasi ini membuat pangan lokal lain jadi sekunder, yang sebenarnya tidak kalah bergizi dan mengandung karbohidrat plus protein tinggi; kita toh punya siasat dalam gembur ketela ubi.

Ajakan Lugas Ikhtiar ini bisa dipandang oleh rezim sebagai tindakan menolak arus utama dan godaan pulen nasi, padahal sejatinya mengajak masyarakat kita untuk menilik kemudian mengolah-merawat apa yang sejak zaman baheula menjadi dasar pangan. Masyarakat di beragam daerah punya ketahanan pangan lokal masing-masing, sebelum didesak seragam oleh pemerintah.

Persoalan lingkungan yang lebih luas ada di bait-bait berikut./ sementara kala menisbatkan/ hujan, sulingan amuk/ orang-orang hulu/ hutan ranggas,/ simpanse jempalitan, burung/ berjingkat pincang/ pada tubuh pohon rubuh/ rayap meriap/ kayu lepuh dililit api/ rob berkilah dari celah/ &retak bumi:/ membanjiri, menggenangi/ ceruk-ceruk tanah/ yang dikeruk/ penuh serakah (Ikhtiar, 2022: 34-35)

Lugas Ikhtiar menarik lebih jauh problem lingkungan dari petak-petak sawah, ke lebatnya hutan. Sebagai warna negara yang punya iklim tropis, hujan tentu adalah sebuah anugerah—sebagai kebalikan dari musim kemarau yang panasnya bikin tanah di lapangan nela.

Hujan malah jadi masalah bagi orang-orang hulu, yang tinggal di dataran tinggi, yang tak lagi punya daerah resapan. Air perlu meresap betul agar tidak menggenang dan banjir timbul.

Satu daerah resapan paling manjur adalah hutan. Pepohonan yang berdiri di dalamnya ikut menyerap dan mendapat berkah dari air langit. Namun, rindang hutan kian hari hanya tinggal kenangan. Pohon-pohon di rimba hutan yang sudah ditebang, menyisakan guratan dan tanah yang gersang—apabila tidak lekas dialih fungsikan dengan tanduran sawit atau kakao, atau malah pabrik tambang. Situasi inilah yang menyebabkan sulingan amuk orang-orang hulu.

Amarah orang-orang hulu tentu beroleh kebenaran. Saat hutan ranggas,/ simpanse jempalitan, burung/ berjingkat pincang/ pada tubuh pohon rubuh, kondisi lingkungan telah benar-benar gawat. Simpanse tak lagi punya hunian dan tempat bermain, mengasuh dan berkembang biak. Burung-burung pun demikian, bersijingkat dengan kaki pincang tatkala melihat keadaan yang tidak pernah ia bayangkan. Jagat jungkir balik.

Menuju pungkasan, puisi Lugas Ikhtiar masih mengikutsertakan dampak yang menimpa binatang dan alam. Sampai rob berkilah dari celah & retak bumi. Banjir, sebagai salah satu bencana, selalu membayang-bayangi. Sewaktu-waktu banjir bisa menggenangi dan melumat pemukiman penduduk. Rumah-rumah terbenam, harta benda terbawa hanyut. Orang-orang mengalami kerungian tak terganggungkan.

Pada bait terakhir, Lugas Ikhtiar menghantam tingkah polah pengusaha atas pengerukan tanah yang dikeruk penuh serakah. Sering pengerukan, baik pada tataran tidak terlampau dalam maupun sampai ke inti bumi, baru berakhir saat nirguna, kala sumber daya tidak bisa disedot lagi. Kritik pantas dilayangkan sebagai pengingat dan penyadaran. Sebab praktik penjarahan akan selalu dilakukan, entah secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Fred Magdof dan Jeremy Fooster dalam buku Kapitalisme dan Lingkungan Hidup (Marjin Kiri, 2018) membabar habis bagaimana kaitan ideologi kapitalisme dan ekologis. Ide-ide kapitalisme terus melakukan praktik perputaran ekonomi dengan melihat segala sektor apapun yang, bila bisa menjadi komoditas dan bernilai jual, lekas-lekas untuk mengelolanya. Sering rancangan pengelolaan hanya dalam jangka pendek.

Kerusakan Lingkungan

 “… kenyataan bahwa di bawah sistem kapitalisme kekayaan publik sering tak terlindungi dan dirampok untuk pemerolehan pribadi, alih-alih dikelola secara berkelanjutan sebagai warisan bersama. Jadi, hal ini bisa kita sebut sebagai tragedi eksploitasi swasta atas kepemilikan bersama.” (hlm. 78). Hal-hal yang semula milik publik, semacam tanah ulayat, atau hutan keramat, menjadi terperosok ke dalam patok-patok yang hanya dimiliki segelintir elit. Tata sosial dan kosmologis turut mengalami perubahan radikal.

Masalah kerusakan lingkungan juga ditulis oleh Yohan Fikri, di satu puisi dalam buku Tanbihat Sebuah Perjalanan (Sirus Media, 2022). Penyair muda yang melakukan proses kreatif di Malang ini menyinggung soalan lingkungan di puisi “Munajat Para Malaikat”.

Yohan Fikri menarasikan malaikat sebagai sosok yang sedang duduk tercenung di arsy... memandang sedih pada bumi. Para malaikat pun meratap, melihat segala kondisi yang ada di muka bumi. Puisi semakin bernada religios—bukan hanya mengisahkan malaikat—melainkan dibuka dengan salah satu terjemahan basa Indonesia dari ayat suci Al-Qur’an, tepatnya surat Al-Baqarah: 30.

Malaikat-malaikat, yang tinggal di atas sana, terpisah dari dunia bawah, yakni dunia yang dihuni manusia, menyaksikan kepongahan manusia planet bumi. Para malaikat tidak diam secara pasif melihat segala kerusakan yang ada di bawahnya. Mereka melakukan gugatan dan pembelaan, serta siasat demi pemulihan alam lingkungan.

 … Sungai dan lautan, telaga dan rawa-rawa,/ semuanya mendidih belaka. Dijerang hasrat manusia yang disulam/ oleh mata uang dan fosil binatang.  / Sementara lewat julang gedung-gedung, kota demi kota terus/ saja mencakar lambung cakrawala, asap pabrik mencabik paru-/ paru dunia, mereka dengar di sudut samudra, sekawanan/ lumba-lumba melenguh, mendendangkan langgam perkabungan;/ segerombolan paus batuknya berdebam-debam, tersedak limbah/ plastik, dengan tubuh penuh galur luka, tersangkur kain dan jala;/ seekor hiu siripnya patah, disembelih sebagai hidangan di atas/ mezbah; serta terumbu-terumbu karang koyak, trauma mendengar/ gelegar ombaknya sendiri. … (Fikri, 2022: 39)

Puisi mengisahkan hewan-hewan yang kena dampak negatif dari perburuan massal. Penangkapan binatang sering dilakukan demi perhitungan untung-rugi, tanpa sama sekali memikirkan siklus ekosistem maupun keberadaan sang hewan, entah yang hidup tinggal beberapa ekor, dan hidup di zona konservasi, atau sudah benar-benar langka.

Siklus penjarahan ini dilakukan tidak memiliki dampak bagi sekelompok/keturunan hewan sendiri, segalanya mengalir untuk memenuhi kantong-kantong rekening atau, kepuasan-kenikmatan kuliner yang bisa dicecap indera.

Sebagai pusat perekonomian dan tata kelola birokrasi, dan dengan kepadatan penduduk yang tinggi, kota tak luput menimbulkan problema. kota demi kota mencakar lambung cakrawala, asap pabrik mencabik paru-paru dunia. Ketinggian jadi satu-satunya alternatif kala kota sudah penuh sesak. Gedung-gedung laksana nisan yang tinggi menjulang. Sementara itu, asap pabrik tak henti-henti menyemburkan polusi udara sampai merobek lapisan ozon, pun masuk ke rongga hidung dan paru-paru manusia.

Yang tak berdaya, selain lingkungan, tentu hewan-hewan yang mendiami habitat tertentu. laut segerombolan paus batuknya berdebam-debam, tersedak limbah plastik, dengan tubuh penuh luka, tersangkur kain dan jala. Plastik yang ada di hamparan laut menjadi masalah bagi paus, yang boleh dikata: penguasa samudra. Tentu dengan tubuhnya yang besar.

Baca juga: Yang Rusak dan Mengalami Desakralisasi 

Paus-paus dengan tubuh penuh luka, tersangkur kain dan jala, tidak bisa leluasa dan bebas bergerak seperti sedia kala. Raksasa samudra ini pun bermasalah dengan tubuhnya sendiri. Penulisan “kain dan jala” di akhir larik, sebagai penyebab adanya goresan-goresan di raga paus, justru semacam mendekonstruksi kemolekan alam maritim Indonesia yang dulu sempat dinyanyikan Koes Plus. Ingat, lirik lagu “Kolam Susu” (1970).

Plastik yang ada di lautan hingga kelak merasuk ke tubuh paus, dapat disadari dan tidak disadari. Bisa langsung diserap hingga tersedak limbah plastik, atau lewat biota laut yang lain. Rutenya seperti ini, mikroplastik yang terombang-ambing di dalam lautan adalah santapan para plankton.

Zat-zat mungil darinya lekas dicerna dan menyatu dengan unsur-unsur lain di dalam tubuh plankton. Kemudian ikan memakan plankton. Dan ikan tersebut juga akan terkena dampak dari mikroplastik ini.

Jika sekian banyak hewan di lautan yang memakan mikroplastik—belum lagi limbah tambang yang berisi zat-zat kimiawi dan dibuang di pesisir pantai—niscaya juga akan menuju meja-meja keluarga, menjadi santapan umat manusia.

Majalah National Geographic pernah menurunkan edisi soal plastik. Laura Parker menulis di majalah sains-teknologi itu pada edisi Mei 2019. Mayoritas sampah plastik berasal dari sungai atau pembuangan sembarangan di daratan, hingga ujung-ujungnya nyemplung di laut, yang rata-rata 9 juta ton banyaknya dalam setahun. Jika biota-biota laut yang memakan mikroplastik itu, justru mereka tidak mengonsumsi kalori yang dibutuhkan demi menyokong hidup mereka.

Puisi yang menyuarakan lingkungan, seperti dua puisi di atas, ada di dalam buku puisi, terhimpun bersama puisi dengan tema-tema lain; asmara, maut, religiositas, epos, pendidikan-pengajaran, desa-kota, dll.

Penulisan puisi yang memihak pada alam, meski hanya barang satu atau dua di dalam buku puisi, menunjukkan adanya perhatian pada persoalan genting, yang digemakan oleh penyair. Semoga, puisi luas terbaca dan beroleh makna—syukur-syukur, pada aktivisme lingkungan, kebijakan birokrasi, dan filantropi yang murni lagi tulus.

Bagikan
Pengajar bahasa Inggris dan peresensi buku. Sekarang ia sedang menyiapkan buku himpunan esai pertamanya. Bisa disapa via instagram @dibbaroya atau surel adib.baroya@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here