krisis iklim
ilustrasi dari pexels

Buku-buku di pandangan mata bocah selalu menjadi titik amatan dan komentar orang dewasa. Biasanya, orang dewasa yang sok tahu dan berlagak otoritatif lekas mengecap satu hal, minat baca sudah menurun.

Tanpa tedeng aling-aling, mereka sering penuh pesimis dan serba pasrah, nyaris menyerah, bahwa buku tidak lagi milik anak-anak zaman sekarang. Arkian, persoalan tersebut membuat masalah baru. Orang dewasa tak bertanggung jawab, seolah-olah lepas tangan atas keresahan yang merundung hati.

Oleh karenanya ada ujaran penting: orang yang benar dewasa itu tidak melupakan sifat dasar kekanak-kanakannya. Bila kita membaca buku garapan Neil Postman, Selamatkan Anak-anak (2009), ia melontarkan kritik: penyiksa anak-anak banyak dari orang dewasa yang memiliki konsep yang berbeda makhluk, seperti apakah anak tersebut sebenarnya. Kutipan dengan nada sinis, ingin menegaskan kelompok dewasa adalah biang kerok.

Alih-alih demikian, yang paling saya ingat beberapa waktu terakhir—kehidupan baik di lingkungan anak-anak maupun dewasa sama-sama menghadapi krisis iklim. Meski demikian, kita sadar dalam serangkaian pertemuan demi pertemuan negara di dunia, krisis iklim masih menjadi isu yang eksklusif. Hanya kelompok tertentu saja yang memberi perhatian.

Baca juga: Pendidikan di Kerajaan Langkat

Sejauh pemahaman saya, sekiranya ada dua hal yang kerap luput. Pertama, produksi pengetahuan yang tidak masif untuk mendorong bagaimana satu pihak dengan lain kemudian sadar bahwa isu global (krisis iklim) ini bukan sembarangan, tetapi benar-benar nyata, tepat di depan mata.

Kedua, pelibatan berbagai jejaring dengan bidangnya yang lantas menggerakkan orang-orang sekitar dengan metode pendidikan-pengajaran berdasar kearifan lokal maupun kebudayaan yang berkembang.

Pendidikan Menengah

Segendang sepenarian, saya menemukan hal menarik saat mengikuti perkembangan buku teks yang didasarkan kebijakan terbaru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Umpamanya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di kelas X—kompilasi fisika, kimia, dan biologi—yang menjelaskan urgensi krisis iklim dan pemanasan global menjadi diskursus ilmu bagi para pelajar.

Kita tengok buku Ilmu Pengetahuan Alam untuk SMA Kelas X (2021) garapan Ayuk Ratna Puspaningsih, Elizabeth Tjahjadarmawan, dan Niken Resminingpuri Krisdianti. Di bagian ilmu fisika dalam buku tersebut, kita menemukan bagaimana para penulis menyajikan materi krisis iklim dan pemanasan global. Buku keluaran penerbit Pusat Kurikulum dan Perbukuan, yang berarti menjadi pedoman sekolah di seantero negeri.

Paragraf demi paragraf tertulis di sana. Para penulis memberi tawaran solusi yang bisa dilakukan demi menghadapi pemanasan global dan krisis iklim. Lihatlah lihat, beberapa penjelasan tampak klise, seperti menghemat energi dan tidak menggunakan kendaraan bermotor.

Saya pikir, dua hal itu sangat sulit dan mustahil. Keduanya sudah melekat dalam kehidupan manusia sampai menjadi gaya hidup dan menyimpan previlise tersendiri. Mengendarai transportasi bermotor sudah seperti mengonsumsi tanda (sign) dalam budaya populer, dan saban hari manusia beraktivitas dengan menghabiskan sekian energi.

Bila demikian adanya, hal tersebut perlu digarisbawahi tentang partisipasi yang perlu dilakukan oleh anak-anak. Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia pada 2021 menerbitkan Buku Pegangan Partisipasi Anak dalam Penelitian.

Satu hal penting di buku itu diketengahkan dalam pendekatan terhadap anak, yaitu kolaborasi. Penjelasan berupa: “Sebagai kolaborator, anak merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan.” Anak tidak ingin jadi sosok yang diam, tetapi juga mengemban peran kontributif dan punya suara.

Menaja Kolaborasi

Masih di buku Ilmu Pengetahuan Alam untuk SMA Kelas X, agaknya kita menemukan satu hal logis yang bisa diupayakan bersama. “Meluangkan waktu senggang untuk berkebun di rumah; dengan banyaknya tanaman di rumah kalian, akan mengurangi kadar CO2 di lingkungan rumah kalian, sehingga lingkungan rumah kalian akan lebih asri dan segar” (hlm. 198).

Secara denotasi, penjelasan itu ingin mengisahkan bagaimana kenyataan situasi modernitas melahirkan manusia yang terasing dengan rumah dan lingkungan sekitar. Padahal, jika melihat arus sejarah, rumah dan pekarangan adalah sumber peradaban bagi tumbuh-kembang kesadaran lingkungan, khususnya menanam, baik tanaman hias buat kepentingan estetis maupun obat-obatan.

Pekarangan telah menjadi saksi purba umat manusia dalam menanam dan domestikasi tetumbuhan. Lingkungan sekitar mengajak kontemplasi tempo memaknai planet Bumi.

Pekarangan telah menjadi saksi purba umat manusia dalam menanam dan domestikasi tetumbuhan. Lingkungan sekitar mengajak kontemplasi tempo memaknai planet Bumi.

Lalu saat mengacu pada relasi yang dilalui anak-anak, tentu sangat membuka kolaborasi lewat dialog maupun percakapan dengan orang sekitar. Tak terkecuali bagi orang tua.

Kala mereka hadir untuk mendampingi, tentu lebih mangkus lagi. Selain melihat perkembangan kecerdasan anak selama menempuh sekolah, mereka dapat merasakan buah aktivitas praktis atas keilmuan yang baru dipelajari di kelas.

Baca juga: Mengingat Kembali Bahasa Simbol

Saya kemudian ingat buku Memahami Iklim dan Lingkungan (2006), yang merupakan hasil terjemahan Understanding the Weather and the Environtment garapan beberapa ilmuwan. Buku yang secara khusus ditujukan kepada para pelajar untuk mengerti peristiwa dan gejala mengenai lingkungan dan iklim. Para pembaca dimanja dengan penjelasan ilmiah dan gambar penuh warna.

Buku menempatkan anak sebagai subjek. “Rasa ingin tahu, tidak hanya menggelitik para ilmuwan dan peneliti. Namun, rasa ingin tahu yang besar sebenarnya ada pada diri anak-anak. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan betapa anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar.”

Penjelasan mengesahkan bocah berhak menelisik kehidupan yang dihadapinya, dari kacamatanya, tanpa perlu intervensi dari orang-orang dewasa yang tak sedikit kolot, yang selalu ingin “mencetak” anak alih-alih “melahirkan”-nya.

Bagikan
Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here